A. Biografi Imâm Mâlik Imâm Mâlik adalah Imâm yang kedua dari Imâm-Imâm empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Imâm Mâlik dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M), dan wafat pada hari Ahad, 10 Rabî’ul Awal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harûn al-Rashîd. Nama lengkapnya adalah Abû Abdillah Mâlik ibn Anâs ibn Mâlik ibn Abû ‘Amîr ibn al-Harîth. Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, diantara para tabi’in, para cerdik pandai, dan para ahli hukum agama. Guru beliau yang pertama adalah Abd al-Rahmân ibn Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqh kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabî’ah al-Ra’yi (wafat tahun 136 H). Selanjutnya Imâm Mâlik belajar ilmu hâdîth kepada Imâm Nâfi’ Maula Ibnu ‘Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imâm ibn Shihâb al-Zuhrî. Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru Imâm Mâlik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Diantara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong ulama tabi’in. Beliau dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan, dan teliti. Dari kecil beliau membaca al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang sunnah dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan fuqaha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semuanya itu. Dalam riwayat hidup Imâm Mâlik ada suatu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu penghormatan beliau terhadap hâdîth Nabi, yaitu ketika beliau hendak menyampaikan hâdîth Nabi atau mengajarkannya disertai dengan cara yang istimewa dengan tujuan untuk menghormati hâdîth Nabi tersebut.
B. Pola Pemikiran, dan Metode Istidlâl Imâm Mâlik dalam Menetapkan Hukum Islam Imâm Mâlik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imâm Abû Hanîfah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imâm Mâlik tumbuh sebagai seorang ulama terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hâdîth dan fiqh. Sebagai bukti atas hal ini, adalah ucapan al-Dahlawy, “Mâlik adalah orang paling ahli dalam bidang hâdîth di Madinah yang paling mengetahui keputusan ‘Umar, yang paling mengetahui pendapat-pendapat Abdullah ibn ‘Umar, ‘Aisyah Ra. dan sahabat-sahabat lainnya, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa. Sebagai seorang ahli hâdîth, kepandaian beliau tentang ilmu hâdîth dapat kita ketahui melalui pengakuan para ahli ilmu hâdîth, diantaranya: 1. Imâm Muhammad bin Idrîs al-Shâfi’î berkata, “Apabila datang hâdîth kepadamu dari Imâm Mâlik, maka pegang teguhlah olehmu dengan kedua tanganmu, karena ia menjadi alasan bagimu. 2. Imâm Yahyâ bin Mu’în pernah berkata, “Imâm Mâlik adalah seorang raja bagi orang-orang yang beriman tentang ilmu hâdîth, yakni seorang yang tertinggi tentang ilmu hâdîth. Sedangkan kepandaian Imâm Mâlik tentang ilmu agama dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya seperti pernyataan Imâm Hanâfî yang menyatakan bahwa, “Beliau tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih alim daripada Imâm Mâlik. Bahkan Imâm al-Laith bin Sa’ad pernah berkata, bahwa pengetahuan Imâm Mâlikî adalah pengetahuan orang yang taqwa kepada Allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil pengetahuan. Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati sebagaimana diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “Saya tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hâdîth, sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakui. Adapun metode istidlâl Imâm Mâlik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang kepada: 1. Al-Qur’an Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhûm al-mukhâlafah dan mafhûm al-aulâ dengan memperhatikan ‘illatnya. 2. Sunnah Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imâm Mâlik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. 3. Ijmâ’ Ahl al-Madînah Ijmâ’ ahl al-Madînah ini ada dua macam, yaitu ijmâ’ ahl al-Madînah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihâd ahl al-Madînah, seperti ukuran mud, sâ’, dan lain-lain. Ijmâ’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imâm Mâlik. Menurut Ibnu Taymiyah, yang dimaksud dengan ijmâ’ ahl al-Madînah tersebut adalah ijmâ’ ahl al-Madînah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madînah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijmâ’ ahl al-Madînah yang asalnya dari al-Naql sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah. Ijmâ’ ahl al-madînah ini ada beberapa tingkatan, yaitu: a. Kesepakatan ahl al-Madînah yang asalnya al-Naql. b. Amalan ahl al-Madînah sebelum terbunuhnya Uthmân bin ‘Affân. Ijmâ’ yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi madhhab Mâlikî. c. Amalan ahl al-Madînah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, apabila ada dua dalil yang yang saling bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan amalah ahl al-Madînah, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl al-Madînah itulah yang dijadikan hujjah menurut madhhab Mâlikî. Begitu pula bagi madhhab Shâfi’î. d. Amalan ahl al-Madînah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl al-Madînah seperti ini bukan hujjah, baik menurut al-Shâfi’î, Ahmad ibn Hanbal, Abu Hanîfah, maupun menurut para ulama di kalangan madhhab Mâlikî. 4. Fatwa Sahabat Yang dimaksud dengan fatwa sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. 5. Khabar Ahad dan Qiyâs Imâm Mâlik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbât, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil yang qat’î. 6. Al-Istihsân Menurut madhhab Mâlikî, al-istihsân adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kullî (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlâl al-mursal daripada qiyâs, sebab mengunakan istihsân itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat sharâ’ secara keseluruhan. 7. Al-Maslahah al-Mursalah Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nas, dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan sharî’at diturunkan. Tujuan syari’at dirurunkan dapat diketahui melalui al-Qur’an atau sunnah atau ijmâ’. 8. Sadd al-Zarâ’i Menurut Imâm Mâlik, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada halal, halal pula hukumnya. 9. Ishishâb Ishishâb adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. 10. Shar’u man qablanâ shar’un lanâ Menurut Qâdhî Abd Wahâb al-Mâlikî, bahwa Imâm Mâlik menggunakan kaidah ini sebagai hukum, tetapi menurut Sayyid Muhammad Mûsâ, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imâm Mâlik yang mengatakan demikian.
C. Karya-Karya Imâm Mâlik dan Penyebaran Madhhabnya Diantara karya-karya Imâm Mâlik adalah kitab al-Muwatta’. Kita tersebut ditulis tahun 144 H atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshûr. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abû Bakar al-Abhâry, atsar Rasulullah SAW sahabat tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwatta’ sejumlah 1.720 buah. Pendapat Imâm Mâlik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al-Muwatta’ dan al-Mudâwanah al-Kubrâ. Madhhab Imâm Mâlik pada mulanya timbul dan berkembang di kota Madinah, tempat kelahiran beliau, kemudian tersiar ke negeri Hijaz. Perkembangan Madhhab Mâlikî sempat surut di Mesir, karena pada masa itu berkembang pula madhhab Shâfi’î dan sebagian penduduknya telah mengikuti madhhab Shâfi’î, tetapi pada zaman pemerintahan Ayyubiyah, madhhab Mâlikî kembali hidup. Sebagaimana di Mesir, demikian juga di Andalusia, di masa pemerintahan Hishâmm Ibn Abd Rahmânî, para ulama yang mendapat kedudukan tinggi menjabat sebagai hakim negara, adalah mereka yang mengatur madhhab Mâlikî, sehingga madhhab ini bertambah subur dan berkembang pesat di sana. Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan Imâm Ibnu Hâshim, “Dua aliran madhhab yang kedua-duanya tersiar dan berkembang pada permulaaannya adalah kedudukan dan kekuasaan, yaitu madhhab Hanâfî di Timur dan madhhab Mâlikî di Andalusia. Diantara para sahabat Imâm Mâlik yang berjasa mengembangkan madhhabnya antara lain: ‘Uthmân ibn al-Hakam al-Juzâmi, Abd Rahmân ibn Khâlid ibn Yazîd ibn Yahyâ, Abd Rahmân ibn al-Qâsim, Asyab ibn Abd ‘Azîz, Ibn Abd al-Hakam, Harîth ibn Miskîn, dan orang-orang yang semasa dengan mereka. Oleh karena jasa mereka itu, madhhab Mâlikî dapat tersebar dan berkembang serta dikenal kaum muslimin hampir di seluruh negeri. Madhhab Mâlikî sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, Lybia, dan Mesir. Masih tersiar juga di Irak, Palestina, Hijaz, dan lain-lainnya di sekitar jazirah Arabia, tetapi tidak begitu banyak orang mengikutinya.
D. Analisis Imâm Mâlik adalah salah satu Imâm madhhab yang beraliran ahl al-hâdîth. Imâm Mâlik dalam sejarah hidupnya hanya menetap di kota Madinah, kecuali ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau sangat dipengaruhi oleh amalan penduduk Madinah. Begitu besar pengaruhnya samai-sampai khabar ahad dapat diterima oleh beliau jika tidak bertentangan dengan ahlu Madinah, atau dikuatkan oleh dalil lain yang qat’î. Walaupun demikian, yaitu dalam satu sisi ia sangat terpengaruh oleh amalan penduduk Madinah, tetapi dalam sisi yang lain ia juga menggunakan maslahah mursalah dan istihsân sebagai sumber hukum. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh adanya beberapa perubahan kota Madinah pada zaman Rasulullah SAW, sehingga menurut pandangan Imâm Mâlik, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengatasainya, kecuali dengan jalan lain yaitu menggunakan maslahah mursalah dan istihsan sebagai sumber hukum.
A. Pengertian Adat dan Hukum Adat 1. Pengertian Adat Menurut Roelof Van Dijk dan Hazairin a. Roelof Van Dijk Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Adat adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari. b. Hazairin Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam suatu masyarakat. 2. Pengertian Hukum Adat Menurut Supomo dan Kusumadi Pudjosewojo Supomo mengatakan hukum adat (non Statutory, judgemade law, customary low) sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis. Kusumadi Pudjosewojo mengatakan hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang menjadi dan sekaligus merupakan hukum pula.
B. Teori Reseptio in Complex Menurut Teori ini, adat istiadat dan hukum adat atau golongan hukum masyarakat adalah reseptio seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat. Teori ini ditentang oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollen Hoven dengan alasan tidak semua bagian hukum agama di terima dalam hukum adat, melainkan bagian tertentu yang menyangkut kepercayaan dan hidup batin seseorang.
BAB II HUKUM PERSEORANGAN DAN HUKUM KEKELUARGAAN
A. Keturunan Di Indonesia dikenal 3 macam sistem keturunan: 1. Sistem keturunan dalam masyarakat keibuan (Matrilineal) yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang anggotanya menarik garis keturunan melalui garis keturunan ibu seperti Minangkabau. 2. Sistem keturunan masyarakat dengan garis keturunan bapak (Patrilinieal) Yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan melalui bapak seperti : Batak. 3. Sistem keturunan dalam masyarakat ke ibu bapakan (bilateral) yaitu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan dari ibu dan Bapak. Dalam hukum adat ada 2 sistem masyarakat bilateral yaitu : 1. Masyarakat bilateral di Jawa yaitu bilateral yang terhimpun dalam kesatuan kecil yaitu keluarga, family, gozin. 2. Masyarakat bilateral di Kalimantan, yaitu sistem bilateral yang terhimpun dalam unit besar terdiri dari 12 sampai 20 keluarga di dalam suatu rumah besar, disebut tribo, rumpun atau kelompok. 3. B. Hubungan Anak dengan Orang Tua dan Kerabat Bahwa hubungan antara anak, orang tua dan kerabat itu sangat erat. Di mana antara hak dan kewajiban mereka bertiga adalah seimbang, semisal tentang kewajiban terhadap nak, jika orang tua tidak mampu melaksanakan kewajiban terhadap anak, maka kerabat lain ikut andil dalam pertanggungjawaban terhadap anak tersebut.
C. Memelihara dan Mengangkat Anak dari Keluarga atau dari Orang Lain Pada dasarnya kewajiban memelihara anak merupakan kewajiban kedua orang tuanya. Namun apabila kedua orang tuanya tidak mampu, maka kerabatlah yang berkewajiban memeliharanya. Adapun dalam pemungutan anak, atau dengan istilah “Adoptic” menurut hukum Islam itu tidak diperbolehkan. Dalam hukum adat adaptio adalah perjanjian pelihara. Dalam perjanjian ini pemelihara menanggung nafkah yang terpelihara lebih-lebih selama masa tuanya.
D. Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak Dari akibat hukum pengangkatan anak itu mengakibatkan kedudukan anak angkat menjadi sama dengan kedudukan anak kandung. Ia akan menjadi penerus dan pewaris orang tua kandungnya dan orang tua angkatnya. Adapun untuk anak pupon itu bukan sebagai waris karena pada dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah hubungan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya kecuali apabila kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat Tujuan penitipan dan pengangkatan ini tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka.
BAB III HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN
A. Arti dan Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat Menurut Ter Haar, perkawinan merupakan kepentingan urusan kerabat, keluarga masyarakat, derajat dan urusan pribadi di antara satu dengan yang lain di dalam hubungan yang beraneka ragam. Dalam lingkungan masyarakat kerabat, perkawinan merupakan syarat untuk meneruskan silsilah, sehingga perkawinan adalah urusan keluarga. Oleh sebab itu tujuan dari perkawinan adalah untuk melestarikan golongan dengan tertib.
B. Sistem Perkawinan Adat 1. Sistem perkawinan Endogami yaitu pria mencari istri dalam lingkungan kerabat, famili sendiri dan dilarang mencari istri dari lingkungan kerabat, seperti di daerh Toraja. 2. Sistem perkawinan Exogami, yaitu pria mencari calon istri yang di luar marga dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga seperti di Minangkabau 3. Sistem Perkawinan Elouterogami yaitu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan yang berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi oleh hukum Islam.
C. Pengaruh Agama Islam dalam Perkawinan Adat Pengaruh yang paling jelas dapat dilihat dari perkawinan bermadu yang terdapat hampir di semua lingkungan masyarakat ada di mana seorang suami mempunyai beberapa istri. Di dalam Islam, perkawinan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ayat Al Qur’an Surat An Nisa ayat 3. Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, maka jiwa ketentuan dari Al Qur’an disalurkan ke dalam pasal-pasal yang menyatakan: 1. Pada asanya seseorang pria / wanita hanya boleh mempunyai seorang istri atau suami 2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
D. Perceraian dan Akibat-Akibatnya 1. Perceraian Perceraian dalam hukum adat maupun hukum agama adalah perbuatan tercela, perceraian menurut Islam merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah. Dalam masyarakat Batak dan Lampung, perceraian berarti putusnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang bersangkutan. Adapun tata cara perceraian ini disebutkan dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 39. 2. Akibat-Akibat Perceraian Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan serta kedudukan harta perkawinan: Di lingkungan masyarakat patrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak tersebut tetap berada dalam kekerabatan suami sekaligus sebagai pewarisnya. Dalam masyarakat matrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak ikut dalam kekerabatan istri sekaligus sebagai pewarisnya. Sedangkan kedudukan anak-anaknya tergantung keadaan. Apabila anak tersebut berhak berada dalam tanggung jawabnya bapak berarti anak tersebut ikut bapak dan berhak menjadi pewarisnya begitu juga sebaliknya.
E. Fungsi Harta Perkawinan Adapun fungsi harta perkawinan adalah untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari bagi suami istri anak-anaknya dan kerabat yang hidup dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
F. Pemisahan Harta Perkawinan Harta warisan ada 4 macam yaitu: 1. Harta bawaan Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan 2. Harta Penghasilan Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan 3. Harta Pencaharian Yaitu harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan 4. Harta hadiah perkawinan Yaitu hart yang diperoleh suami dan istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah
G. Status Hukum Harta yang Diperoleh antara Suami Istri dalam Perkawinan Kedudukan harta yang diperoleh oleh suami atau istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh istri maka harta itu milik istri, sebaliknya jika hartanya itu dari suami, maka harta itu milik suami. Andaikata harta tersebut diperoleh dari suami dan istri secara bersama maka harta tersebut milik bersama. Namun jika diperoleh dari harta bawaan perkawinan, maka harta itu digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-harinya dalam rumah tangganya.
BAB IV PENGERTIAN WARIS DAN SIFATNYA
A. Pengertian Waris 1. Pengertian Sementara itu Soepomo mengartikan hukum adat waris sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immaterial Goenderen) dari satu angkatan kepada keturunannya. Adapun pengertian waris menurut hukum adat adalah sama dengan pendapat yang dikatakan Soepomo. Sedangkan menurut Mr. Wirjono Prodiodihoro pengertian warisan adalah tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan, seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup. Sesungguhnya mengartikan waris setelah peristiwa wafat memang benar, jika dilihat dari hukum Islam dan KUH Perdata. Akan tetapi jika dilihat dari hukum adat, maka sebelum pewaris wafat sudah bisa dilakukan pengalihan harta. 2. Sifat Hukum Waris Hukum waris adat ini mempunyai corak dan sifat. Sifat tersendiri yang khas Indonesia jika dibandingkan dengan KUH Perdata. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan.
B. Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-Bagi Kemungkinan tidak terbaginya harta peninggalan itu adalah dikarenakan kepentingan, dan kegunaannya sebagai pemersatu kekerabatan, di antara alasannya sebagai berikut : 1. Tidak dapat dibagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan atribut dari kesatuan hidup kekerabatan adat di bawah pimpinan kepala adat. 2. Telah dibagi-bagikan pemilihan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya, sebagai milik bersama dari suatu kerabat kecil yang berfungsi dan berperan sebagai tali pengikat kekuatan keluarga di bawah pimpinan kepala kerabat bersangkutan 3. Tidak terbagi-baginya pemilihan harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah adalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota menjadikannya sebagai tempt kediaman.
C. Penghibahan (Pewarisan) dan Hibah Wasiat Perebutan penghibahan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah kepada seorang anak yang berhak atas warisan orang tua terikat pada aturan bahwa semua anak harus mendapatkan bagian yang patutu dari peninggalan. Pewarisan dan hibah wasiat mempunyai dua corak: 1. Mereka-mereka yang menerima harta, itu adalah ahli waris yaitu istri dan anak-anak 2. Orang yang mewariskan itu meskipun terikat oleh peraturan bahwa semua anak harus mendapat bagian yang layak, hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris seorang anak, akan tetapi dalam menentukan barang mana yang untuk istri dan anak adalah bebas.
D. Harta Keluarga Marga yang Merupakan Harta Peninggalan Di dalam sebuah keluarga, jika suaminya telah meninggal dunia dan anak-anak telah mandiri seorang istri mempunyai kedudukan istimewa, sebab istri sebagai janda menguasai rumah yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya dan berhak menetap di rumah itu sekaligus berhak untuk memegang harta benda yang ditinggalkan, jika ia memerlukannya dan selama memerlukannya untuk kehidupannya. Di Jawa, kedudukan duda (janda lelaki) terhadap harta peninggalan, pada dasarnya sama dengan kedudukan janda perempuan, ini memang sesuai dengan sistem keluarga di Jawa yang berdasar turunan dari kedua belah pihak orang tua (Ouderrechtteurk)
E. Pembagian Harta Peninggalan Jika si peninggal warisan sewaktu hidupnya tidak memberikan semua harta bendanya dengan jalan menghibahkan dan setelah dikurangi hutang-hutangnya masih terdapat sisa, maka harta peninggalan itu dapat dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Suatu saat harta tersebut di bagi-bagi maka pembagiannya tidak menurut aturan-aturan yang ada. Jika salah seorang atau beberapa orang waris menghendaki membagi harta peninggalan, sedangkan waris lainnya tidak menyetujui, maka perkara tersebut diajukan kepada hakim atau hakim jabatan untuk memperoleh penyelesaiannya.
F. Para Ahli Waris 1. Anak Kandung yang terbagi menjadi anak sah, anak tidak syah, waris anak lelaki, waris anak perempuan, waris anak lki-laki dan perempuan, waris anak sulung, waris anak sulung pria, waris anak wanita, waris anak pangkalan dan anak bungsu. 2. Anak tiri dan anak angkat, yakni : anak tiri, anak angkat, anak angkat mewaris. 3. Waris Balu Janda atau Duda, yakni Balu dalam sistem Patrilineal, Balu dalam sistem matrilineal, Balu dalam sistem parental. 4. Para waris lainnya.
BAB V HUKUM TANAH
A. Hak Persekutuan Atas Tanah Persekutuan atas pemilikan tanah itu, terdiri dari latar belakang dan hak ke dalam, hak keluar maksudnya, kewenangan bersama untuk memungut hasil dari tanah yang tidak dimiliki untuk orang lain. Adapun hak di dalam maksudnya, masyarakat berhak mengatur pemungutan hasil oleh anggota-anggotanya berdasarkan atas hak dari masyarakat dan masing-masing anggota mendapat bagiannya yang sah, dengan jalan membatasi hak-hak, perseorangan guna kepentingan masyarakat. Dalam hak persekutuan terdapat hak-hak orang seorang secara timbal balik dan terus menerus. Masing-masing dari merek berhak mempertahankan hak orang seorang terhadap hak persekutuan itu.
B. Hak Perseorangan Atas Tanah Hak perseorangan atas tanah di batasi oleh kelonggaran yang ditentukan oleh “Beschikking Screht” berupa hak milik (Het Inlads besitssrecht). Seorang anggota masyarakat yang berhak memiliki pekarangan/ ladang ia berhak menikmati (Genot recht) Perjanjian tanah yaitu: pemilikan tanah, jual lepas, jual gadai, jual tahunan, pemberian tanah, pembuktian tanah.
C. Transaksi Tanah dan Transaksi yang Ada Hubungannya dengan Tanah Yaitu perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa, perjanjian berganda, perjanjian pinjaman dengan jaminan tanah, perjanjian semu (Simulasi).
D. Status Tanah Adat dalam UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960) Di dalam pasal 3 UUPA tentang pelaksanaan hak dikatakan bahwa pelaksanaan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Selanjutnya di dalam pasal 5 UUPA dikatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruangannya ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa atau kondisi sosial Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berstandar pada hukum agama.
HIPOTESIS, TEKNIK PENGUMPULAN DATA, DAN METODE ANALISIS DATA
A. Hipotesis Hipotesis pada dasarnya adalah dugaan peneliti tentang hasil yang akan didapat. Tujuan ini dapat diterima apabila ada cukup data untuk membuktikannya. Apabila peneliti tidak memiliki opini atau dugaan tentang jawaban permasalahan penelitiannya, maka penelitian ini tidak ada hipotesisnya. Memang ada perbedaan pendapat tentang apakah setiap permasalahan harus ada hipotesisnya atau tidak. Di satu pihak, menyatakan bahwa apabila peneliti tidak memiliki opini tentang hasil penelitiannya, maka tidak diperlukan adanya hipotesis. Di pihak lain menyatakan hipotesis nolnya, dengan kata lan, peneliti harus mengajukan hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara bermakna dalam penelitian yang akan dilakukannya. Dalam penelitian hukum, hipotesis dapat ada atau tidak, tergantung dari tipe dan kerangka teori atau metodologinya. Pada umumnya dikenal adanya hipotesis: 1. Kerja (research hypothesis), biasanya dirumuskan dalam pernyataan: “Jika…., maka….”, artinya “Jika tidak ada fakta X, maka tentu ada juga fakta Y”. Di sini, X disebut variabel penyebab, dan Y merupakan variabel akibat. 2. Penguji (statistical hypothesis) dikenal juga sebagai Hipoteis nihil (Ho) dan Hipotesis alternatif (Ha). Hipotesis/Ho biasanya dirumuskan dalam pernyataan: “Tidak ada perbedaan antara…., dengan….”. Sedangkan Hipotesis/Ha biasanya dirumuskan: “Lebih besar dari…. lebih kecil dari….”. Jadi, hipotesis alternatif dirumuskan dalam bentuk adanya hubungan antara X dan Y, atau dalam bentuk adanya perbedaan keadaan antara dua variabel. Secara umum, untuk merumuskan suatu hipotesis hendaknya: 1. Menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih; 2. Dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan (deklaratif); 3. Dirumuskan secara singkat, jelas, dan padat; 4. Dapat diuji kebenarannya dengan cara mengumpulkan data empirik.
B. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya, data dapat dikelompokkan pada setting alamiah (natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen di rumah dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan, dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya. Dalam penelitian data kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participan observation), wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi.
C. Metode Analisis Data Mengolah dan menganalisis data pada pokoknya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: 1. Editing Apabila data-data telah diperoleh, maka berkas-berkas catatan informasi akan diolah. Pengolahan data yang pertama adalah meneliti kembali catatan untuk mengetahui apakah catatan itu sudah cukup baik dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses berikutnya, atau yang biasa disebut dengan istilah editing. Dalam editing ini, yang dikoreksi kembali adalah meliputi hal-hal: (1) lengkapnya pengisian kuesioner; (2) keterbacaan tulisan atau catatan, (3) kejelasan makna jawaban; (4) keajegan dan atau kesesuaian jawaban satu dengan yang lainnya; (5) relevansi jawaban; dan (6) keseragaman satuan data. 2. Coding Coding yaitu proses untuk mengklasifikasikan jawaban-jawaban para responden menurut kriteria atau macam yang ditetapkan. Klasifikasi ini dilakukan dengan cara menandai masing-masing jawaban dengan “tanda kode” tertentu, misalnya dengan angka (angka kode). Kategori dalam coding harus memperhatikan: a. Kategori harus didasarkan pada satu satu asas kriterium tunggal; b. Setiap kategori harus dibuat lengkap; c. Kategori tersebut satu sama lain harus saling terpisah tegas, dan tidak boleh saling overlap. 3. Menghitung frekuensi Setelah coding selesai dikerjakan, maka diketahui bahwa setiap kategori telah menampung dan memuat data-data dalam jumlah (frekuensi tertentu). Pada akhir tahap coding ini peneliti akan memperoleh distribusi data dalam frekuensi-frekuensi tertentu pada masing-masing kategori yang ada. 4. Tabulasi Tabulasi adalah proses penyusunan data kedalam bentuk tabel. 5. Mengukur derajat besarnya hubungan antar variabel Derajat besarnya hubungan antara dua variabel itu selalu diukur dengan hasil yang dinyatakan dalam lambang bilangan antara: 0,00 dan 1,00 (atau –1,00). Apabila diperoleh hasil 0,00 berarti hubungan antara dua vaariabel tersebut tidak ada, dan apabila angka yang diperoleh adalah 1,00 atau –1,00 berarti hubungan itu ada secara sempurna.
2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan (Tanggal 13,14,15 di kalender Islam) - 30, 31 Desember 2009, 1 Januari 2010/Muharram 1431 H - 28, 29, 30 Januari 2010/Shafar 1431 H - 27,28 Februari, 1 Maret 2010/Rabi’ul Awwal 1431 H - 29, 30, 31 Maret 2010/Rabi’ul Akhir 1431 H - 27, 28, 29 April 2010/Jumadil Awwal 1431 H - 27, 28, 29 Mei 2010/Jumadil Akhir 1431 H - 25, 26, 27 Juni 2010/Rajab 1431 H - 25, 26, 27 Juli 2010/Sya’ban 1431 H - Puasa (wajib) Ramadhan 1431 H - 11 Agustus - 9 September 2010 ***t275: dengan demikian, tidak ada puasa sunnah 3 hari di bulan Ramadhan..*** - 22, 23, 24 September 2010/Syawwal 1431 H - 21, 22, 23 Oktober 2010/Dzulqa’idah 1431 H - 19, 20, 21 November 2010/Dzulhijjah 1431 H. ***tgl 19 November = hari terakhir Tasyriq, tidak boleh berpuasa***
3. Puasa Sepertiga Bulan - Yakni di bulan Dzulhijjah (antara 7 November - 6 Desember 2010). Puasa tanggal 9 Dzulhijjah (Arafah) bagi selain orang yang melaksanakan haji. Tanggal 15 November 2010. Puasa dilakuan 7 November - 15 November 2010, terputus dengan idul Adha dan hari Tasyrik,dilanjutkan lagi tgl 20 & 21 November 2010.
Tidak boleh berpuasa : Hari Idul Adha - 10 Dzulhijjah / 16 November 2010. Hari tasyriq 11,12,13 Dzulhijjah / 17, 18, 19 November 2010.
4. Puasa Bulan Muharram - ‘Asyura’ selama 3 hari - 9, 10, 11 Muharram Sangat dianjurkan tanggal 9 dan 10 (Tasu’a dan ‘Asyura) 26, 27, 28 Desember 2010.
5. Puasa pada sebagian bulan Sya’ban Antara 13 Juli - 10 Agustus 2010.
6. Puasa pada bulan Syawal - 6 hari Tidak diperkenankan puasa pada 1 Syawal (10 September 2010) Antara 11 September - 8 Oktober 2010.
7. Puasa Daud - berpuasa selang seling Berpuasa satu hari lalu berbuka satu hari. *kecuali hari2 yang dilarang berpuasa*
BAB I PENDAHULUAN Tafsîr sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur’an telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi, sebagai hasil karya umat manusia (umat Islam). Terjadinya keanekaragaman dalam corak penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keberagaman ini, misalnya perbedaan kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalamam dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi, dan lain sebagainya. Semua itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsîr yang bermacam-macam lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri. Tulisan ini bermaksud menguraikan tentang beberapa corak tafsîr yang ada hingga sekarang ini dan masih digunakan dalam kehidupan kita beserta perinciannya.
BAB II CORAK PENAFSIRAN AL-QUR’AN Secara umum corak tafsîr yang berkembang sampai saat ini ada empat, yaitu sebagai berikut: A. Tafsîr Tahlîlî Tafsîr tahlîlî ialah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushâf Uthmânî. Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafadz menjelaskan apa yang dapat di-istinbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu ia merujuk kepada sebab-sebab turunnya ayat, hadîth-hadîth Rasulullah SAW dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Para ulama membagi wujud tafsîr al-Qur’an dengan metode tahlîlî kepada tujuh macam, yaitu: 1. Tafsîr bi al-Ma’thûr Tafsîr bi al-ma’thûr adalah tafsîr al-Qur’an dengan riwayat-riwayat dan athar-athar yang dipandang muhâsabah bagi ayat, baik riwayat itu marfû’, mauqûf, maqtû’, maupun hanya berita-berita yang diterima dari orang-orang Israil. Contoh tafsîr ini adalah Tafsîr Ibn Jarîr al-Tabârî dan Tafsîr Ibn Kathîr. 2. Tafsîr bi al-Ra’yi Tafsîr bi al-ra’yi adalah penafsiran Al-Qur’an dengan upaya ijtihad. Tafsîr jenis ini ada yang ditolak dan ada yang diterima, tergantung dari kualitas penafsirannya, apakah memenuhi persyaratan yang dikemukakan ulama tafsîr atau tidak. Jika memenuhi, maka tafsîr ini dapat diterima. Di antara tafsîr ini adalah kitab Madârik tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl karangan al-Ustâdz Mahmûd al-Nasâfî. 3. Tafsîr Sûfî Tafsîr sûfî adalah penafsiran yang dilakukan para sûfî yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sûfî dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsîr sûfî adalah kitab Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm, karangan Imâm al-Tustûrî. 4. Tafsîr Fiqh Tafsîr fiqh adalah penafsiran ayat al-Qur’an yang dilalukan (tokoh) suatu madhhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madhhabnya. Tafsîr fiqh banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karangan imam-imam dari berbagai madhhab seperti kitab Ahkâm al-Qur’an karangan al-Jassâs. 5. Tafsîr Falsafati Tafsîr falsafati adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsîr falsafati adalah Mafâtih al-Ghaib yang dikarang al-Fakhr ar-Râzî. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat keutuhan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika). 6. Tafsîr ‘Ilmî Tafsîr ‘ilmî adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Di antara kitab tafsîr ‘ilmî adalah kitab al-Islâm Yata’addâ karangan al-‘Allâmah Wâhid al-Dîn Khan. 7. Tafsîr Adâbî Tafsîr adâbî adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balâghah al-Qur’an dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum alam dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Di antara kitab tafsîr adâbî adalah kitab tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. B. Tafsîr Ijmâlî Tafsîr ijmâlî atau yang disebut dengan tafsîr global adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam prakteknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlîlî karena itu sering kali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja. Di antara contoh tafsîr ijmâlî adalah Tafsîr Jalâlain yang ditulis oleh Jalâl al-dîn al-Mahallî dan Jalâl al-dîn al-Suyûti. Jalâl al-dîn al-Mahallî memulai tafsirnya dari permulaan surat al-Kahfi sampai akhir al-Qur’an. Kemudian ia menafsirkan surat al-Fâtihah dan setelah selesai menyempurnakannya ia meninggal dunia. Sisanya dilanjutkan oleh Jalâl al-dîn al-Suyûti dengan menggunakan metodologi pengarang sebelumnya. Tafsîr ini mengandung banyak catatan dan ungkapan ringkas yang hampir sama dengan kebanyakan tafsîr lain. C. Tafsîr Muqârin Tafsîr muqârin adalah penafsiran sekelompok ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadîth baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat tertentu dari objek yang dibandingkan. Kelebihan metode ini yaitu dapat mengetahui perkembangan corak tafsîr dari para ulama salaf sejak dulu sampai sekarang, sehingga menambah cakrawala berfikir, bahwa ternyata al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai aspek sesuai dengan latar belakang dan pendidikan mufassir. Kekurangannya terletak pada sifatnya yang hanya membandingkan, sehingga pembahasan ayat kurang mendalam dan kurang analitis. D. Tafsîr Maudû’î Tafsîr maudû’î adalah tafsîr yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan tema dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata, dan sebagainya sebagaimana lazimnya tafsîr-tafsîr yang lain. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen dari al-Qur’an, al- hadîth, maupun pemikiran rasional. Contoh tafsîr ini adalah al-Insân fi al-Qur’an karangan Mahmûd al-‘Aqqâd, dan al-Ribâ fi al-Qur’an karya al-Maudûdî. Berikut ini merupakan langkah-langkah penerangan metode maudû’î, yaitu: 1. Memilih tema. 2. Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengannya. 3. Menentukan urutan-urutan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan asbâb al-nuzul-nya. 4. Menjelaskan munâsabah (relevansi) antar ayat-ayat. 5. Membuat sistematika kajian dalam kerangka yang sistematis dan lengkap dengan outlinenya yang mencakup semua segi dan tema kajian. 6. Mengemukakan hadîth-hadîth yang berkaitan dengan tema, lalu di-takhrîj untuk diterangkan derajat hadîth-hadîth tersebut. 7. Merujuk kepada kalam Arab dan syair-syair mereka yang berkaitan untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang terdekat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema. 8. Kajian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dilakukan secara maudû’î terhadap segala segi kandungannya, yaitu lafadz âm, khâs, muqayyad, mutlaq, syarat, jawâb, hukum-hukum fiqh, nâsikh dan mansûkh, jika ada unsur balâghah dan i’jâz berusaha memadukan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat lain yang diduga kontradiktif dengannya atau dengan hadîth yang tidak sejalan dengannya atau dengan teori-teori ilmiah, menolak kesamaran-kesamaran yang sengaja ditaburkan oleh lawan Islam, menyebutkan penjelasan berbagai qirâ’ât, menerangkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan kemasyarakatan dan tidak menyimpang dari sasaran yang dituju tema kajian.
BAB III KESIMPULAN Corak tafsir yang berkembang sampai saat ini ada empat, yaitu sebagai berikut: 1. Tafsîr Tahlîlî, yaitu mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushâf Uthmânî. Tafsir ini dibagi menjadi 7 yaitu: a. Tafsîr bi al-Ma’thûr b. Tafsîr bi al-Ra’yi c. Tafsîr Sûfî d. Tafsîr Fiqh e. Tafsîr Falsafati f. Tafsîr ‘Ilmî g. Tafsîr Adâbî 2. Tafsîr ijmâlî atau yang disebut dengan tafsîr global, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. 3. Tafsîr muqârin, yaitu penafsiran sekelompok ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadîth baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat tertentu dari objek yang dibandingkan. 4. Tafsîr maudû’î, yaitu tafsîr yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA Al-‘Arid, ‘Alî Hasan. Târîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, terj. Ahmad Akram. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas al-Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996. Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Nurhakim, Moh. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press, 2005.
Allah SWT telah menetapkan bahwa zakat adalah salah satu kewajiban dalam agama Islam. Akan tetapi, masyarakat kita kurang begitu faham dan mengetahui permasalahan itu sendiri. Padahal, zakat merupakan salah satu ibadah dan menjadi salah satu soko guru yang menegakkan agama Islam, karena zakat merupakan rukun Islam yang keempat, sehingga Islam seseorang belum tegak selama belum mengeluarkan zakat.
Maka dari itu, saya menyusun makalah ini. Saya akan mencoba menjelaskan mengenai zakat mulai dari pengertian, syarat dan rukunnya, orang yang menerima, orang yang tidak berhak menerima, zakat fitrah, zakat mal, dan perincian mengenai zakat kontemporer, dan pada akhir pembahasan akan ditutup dengan kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Zakat
Makna zakat menurut bahasa ialah menambah, sedang menurut syara’ ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara tertentu kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.
Madzhab Maliki mendefinisikan dengan, mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab, kepada orang yang berhak menerimanya. Dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai haul, bukan barang tambang dan bukan pertanian.”
Madzhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan, menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah SWT.”
Menurut madzhab Syafi'I, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut madzhab Hambali, zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus pula.
Dari sini jelaslah bahwa kata zakat menurut terminology para fuqoha, dimaksudkan sebagai penunaian yakni penunaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Zakat dinamakan sedekah karena tindakan itu akan menunjukkan kebenaran seorang hamba dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah swt.
B.Syarat-Syarat dan Rukun Zakat
1.Syarat Wajib zakat
Syarat-syarat wajib zakat itu ada 6 perkara, yaitu:
a.Islam
b.Merdeka
c.Milik sempurna
d.Ada 1 nishab
e.Genap satu tahun
f.Binatang yang diumbar, yakni binatang yang digembalakan di tempat penggembalaan yang diizinkan. Jika binatang itu diberi makan separuh biaya dan separuh digembalakan, dan yang digembalakan lebih banyak maka dizakati, dan apabila makanannya lebih banyak diberikan maka tidak dizakati.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
مِنْ سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ (رواه ابو داود)
Artinya: Wajib zakat dalam ternak yang digembala (HR. Abu Daud).
2.Syarat sah pelaksanaan zakat
Syarat sahnya pelaksanaan zakat menurut kesepakatan para ulama itu ada 2, yaitu:
a.Niat
b.Tamlik (memindahkan kepemilikan harta kepada penerimanya).
3.Rukun zakat
Rukun zakat ialah mengeluarkan sebagian nishab (harta), dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik yang fakir, dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas memungut zakat.
C.Orang-Orang Yang Berhak Dan Tidak Berhak Menerima Zakat
1.Orang-orang yang berhak menerima zakat
Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat ada 8 golongan, yaitu:
a.Orang Faqir
Adapun yang dinamakan faqir ialah orang yang tidak mempunyai penghasilan tertentu yang sekiranya dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.
b.Orang miskin
Yang dinamakan miskin ialah orang yang mempunyai harta-harta (uang) atau penghasilan yang masing-masing keduanya itu kurang mencukupi kebutuhan hidupnya.
c.Amil
Yang disebut amil adalah orang yang ditetapkan oleh imam untuk mengatur (mengurusi) dan menerimakan kepada orang yang berhak menerima.
d.Muallaf (muallafatu qulubuhum)
Yakni orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah, maka orang yang demikian ini dijinakkan hatinya dengan diberi zakat.
e.Hamba sahaya (riqab)
Yaitu budak-budak mukatab yang sah atau budak yang dimerdekakan oleh pemiliknya dengan syarat membayar uang dengan diangsur.
f.Orang yang mempunyai hutang (gharim)
Yaitu orang yang berhutang untuk meredakan fitnah antara dua orang yang tidak jelas pembunuhnya, atau orang yang berhutang yang tidak digunakan untuk maksiat.
g.Sabilillah
Ialah orang-orang yang berjuang di jalan Allah, tidak termasuk orang yang mendapat gaji tertentu, tetapi mereka berjuang semata-mata karena Allah.
h.Ibnu sabil
Ialah orang yang bepergian dengan tidak untuk maksiat, dan kebetulan melewati negara zakat.
Artinya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
(QS. At-Taubah: 60)
2.Orang-orang yang tidak berhak menerima zakat
Orang-orang yang tidak berhak menerima zakat adalah sebagai berikut:
1.Orang kaya
2.Budak
3.Orang keturunan Sayid Hasyim
4.Orang keturunan Mutholib
5.Orang kafir
6.Orang yang akan membelanjakannya ke arah laku maksiat.
D.Zakat Fitrah
Zakat fitrah ialah zakat yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim yang harus diberikan pada Hari Raya Fitrah (Idul Fitri 1 Syawal). Juga disebut zakat badan, berdasarkan hadits Nabi:
Yang artinya: "Allah telah mewajibkan memberikan zakat fitrah untuk mensucikan diri bagi orang yang puasa dari pada perbuatan hampa, dan perkataan kotor, dan untuk sekedar memberi makan kepada orang-orang miskin". (H.R. Abu Daawud).
Zakat fitrah itu diwajibkan bagi orang yang mempunyai kelebihan makanan serta pakaian untuk dirinya dan keluarga tanggungannya pada malam serta siang hari Hari Raya fitrah itu (Idul Fitri).
Mengeluarkan zakat fitrah itu diwajibkan untuk diri dan untuk keluarga yang menjadi tanggungannya, demikian juga pelayannya. Jadi termasuk pula anak danistrinya.
Adapun banyaknya zakat fitrah yang harus dikeluarkan untuk tiap orang ialah sato sho' tamar dan sebagainya, yang menjadi makanan pokok bagi manusia, sebagaimana yang telah tersebut dalam hadits kurang lebih 3 liter atau 2 1/2 kg. Bagi orang Indonesia zakat fitrah itu dengan beras karena disini beras adalah menjadi makanan pokok.
Menurut Imam Syafi'I membayar zakat fitrah dengan harganya (dengan uang) itu tidak boleh, sebab yang diperintahkan dalam hadits ialah wajib memberi zakat fitrah dengan makanan yang mengenyangkan (menguatkan badan).
E.Zakat Mal
Harta benda yang wajib dizakati diantaranya adalah
1.Hasil tanaman
Biji makanan yang mengenyangkan seperti beras, jagung, gandum, dan sebagainya dari makanan pokok yang menjadi kekuatan badan wajib dizakati. Begitu pula buah-buahan kurma dan anggur. Nishabnya ialah lima wasaq (930 liter) ke atas. Zakatnya ada dua macam. Bila digenangi dengan biaya maka zakatnya 5% daripadanya. Dan bila disiram oleh air hujan atau sungai maka zakatnya 10% dari padanya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan table berikut:
NO
JENIS HARTA
NISHOB
HAUL
KADAR ZAKAT
1
Padi (ket. Untuk no. 1-7 : Jika tadah hujan 10% jika disirami atau diairi 5% zakatnya)
1350 kg gabah atau beras 750 kgberas
Setiap panen
10% atau 5 %
2
Biji-bijian (jagung, gandum) senilai
750 kg beras
Setiap panen
10% atau 5 %
3
Kacang-kacangan (gandum) dll
750 kg beras
Setiap panen
10% atau 5 %
4
Umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang, jahe) dll
Jika seseorang memiliki emas 20 mitsqal (93,6 gram) atau lebih, ia diwajibkan mengeluarkan zakat 2 1/2 % dari padanya.
Rasulullah bersabda yang artinya ialah: "Apabila engkau mempunyai 200 dirham dan telah berjalan satu tahun, maka kewajiban zakat 5 dirham dari padanya. Dan tidak diwajibkan zakat emas hingga engkau mempunyai 20 dinar, dan telah berjalan satu tahun, maka wajiblah mengeluarkan zakatnya setengah dinar.
3.Harta perdagangan
Apabila seseorang mempunyai perdagangan dan telah berjalan satu tahun, maka wajib baginya mengeluarkan zakat 2 1/2 % daripada itu.
Perhitungan disesuaikan dengan nishab emas (dinilai menurut pokoknya). Sebagaimana halnya uang, harus pula dizakati.
Oleh karena itu pada tiap akhir tahun, harus diadakan neraca perhitungan. Yang dihitung bukan hanya labanya saja, tetapi pokok kapital dan labanya sama sekali dijumlah seluruhnya.
Maka dari itu untuk mengetahui dengan jelas berapa banyaknya harta dagangan sekarang, haruslah diadakan perhitungan setepat-tepatnya (dengan pembukuan) jangan hendaknya hanya kira-kira.
4.Binatang ternak
Binatang ternak yang wajib dizakati ialah unta, kerbau, sapi, domba, dan kambing. Adapun nishabnya adalah sebagai berikut:
NO
JENIS HARTA
NISHOB
HAUL
KADAR ZAKAT
1
UNTA
KETERANGAN:
Setiap jumlah bertambah lima ekor atau berkurang zakatnya ditambah dengan seekor kambing untuk masing-masing lima ekor atau kurang hingga unta mencapai 24 ekor, selanjutnya setiap pertambahan 40.
Zakatnya ditambah unta betina umur 2 tahun dan pertambahan 50 zakatnya ditambah seekor unta berumur 3 tahun.
5 ekor
1 tahun
1 ekor kambing umur 2 tahun
25-34 ekor
1 tahun
1 ekor kambing umur 2 tahun
35-45 ekor
1 tahun
1 ekor unta betina umur 2 tahun
46-60 ekor
1 tahun
1 ekor unta betina umur 3 tahun
61-75 ekor
1 tahun
1 ekor unta betina umur 4 tahun
76-90 ekor
1 tahun
2 ekor unta betina umur 2 tahun
91-124 ekor
1 tahun
1 ekor unta betina umur 3 tahun
2
SAPI
KETERANGAN
Setiap bertambah 30 zakatnya ditambah seekor sapi umur 1 tahun & pertambahan 40 zakatnya ditambah seekor sapi berumur 2 tahun
30-39 ekor
1 tahun
1 ekor sapi umur1 tahun
40-59 ekor
1 tahun
1 ekor sapi umur
2 tahun
60-69 ekor
1 tahun
2 ekor sapi umur
2 tahun
70 ekor
1 tahun
2 ekor sapi umur
1 dan 2 tahun
3
KAMBING ATAU DOMBA
KETERANGAN
Setiap pertambahan 100 atau kurang zakatnya ditambah seekor kambing atau domba
40-120 ekor
1 tahun
1 ekor kambing/domba
121-200 ekor
1 tahun
2 ekor kambing/domba
201-300 ekor
1 tahun
3 ekor kambing/domba
5.Rikaz
Apabila seseorang menemukan harta benda terpendam dari orang dahulu yang tidak tentu dan tidak diketahui siapa pemiliknya maka seketika itu juga diwajibkan memberikan zakatnya 20% dari padanya.
Tidak usah menunggu satu tahun sebagaimana halnya dengan harta benda perdagangan seketika itu juga harus mengeluarkan zakatnya. Sesuai dengan sabda Nabi:
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ (متفق عليه)
Yang artinya :
"Di dalam rikaz terdapat 1/5 dari padanya". (H.R. Bukhori dan Muslim).
F.Zakat Kontemporer
Zakat kontemporer adalah zakat yang hanya membicarakan zakat hasil usaha yang zakatnya tidak ditentukan oleh nash, seperti perkebunan, peternakan selain kambing, sapi/lembu dan unta, perikanan, gaji/upah, dan industri.
1.Hukum zakat hasil perkebunan
Para fuqoha sependapat mengenai wajibnya zakat pada empat macam tanaman, yaitu gandum, jewawut, kurma, anggur kering. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw:
Artinya : "Janganlah kamu mengambil zakat tumbuh-tumbuhan kecuali dari empat macam; sya'ir, gandum, zabib dan kurma." (H.R. Daruqutny, Hakim dan Thabrani).
Namun mereka berselisih pendapat mengenai hasil tanaman selainnya.
a.Ibnu Abi Laila, Sofyan Al-Tsauri, dan Ibnu Mubarak berpendapat tidak wajib membayar zakat dari hasil tanaman kecuali empat macam seperti disebutkan di atas.
b.Imam Malik dan Imam Syafi'I menyatakan bahwa zakat dikenakan terhadap semua jenis tanaman yang dapat disimpan lama dan merupakan makanan pokok.
c.Imam Ahmad berpendapat bahwa semua tanaman yang ditanam manusia, yang kering, yang tahan lama, dan ditakar, baik biji-bijian maupun buah, baik merupakan makanan pokok maupun bukan seperti mentimun dikenakan zakat.
d.Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap semua hasil bumi, selain rumput, kayu dan bambu.
e.Abu Yusuf dan Muhammad menyatakan, "Tidak wajib zakat atas hasil tanaman, kecuali biji-bijian dan buah-buahan yang tidak dapat diawetkan selama satu tahun, tanpa banyak pemeliharaan, baik berupa hasil yang bisa ditakar seperti biji-bijian maupun yang ditimbang seperti kapas dan gula. Mentimun, semangka, sayuran, mangga, jeruk dan lain-lain tidak bisa diawetkan maka tidak wajib dizakati.
Perbedaan pendapat antara fuqoha yang menetapkan wajib zakat hanya ada pada empat macam tanaman dengan fuqoha yang menetapkan kewajiban zakat atas semua hasil tanaman yang dapat diawetkan dan merupakan makanan pokok, disebabkan karena perbedaan pendapat mereka mengenai pertalian zakat dengan keempat macam tanaman tersebut, apakah karena zat makanan itu sendiri, ataukah karena adanya suatu illat padanya, yaitu kedudukannya sebagai makanan pokok.
Bagi fuqoha yang berpendapat bahwa pertalian itu ada pada zatnya, maka tidak wajib zakat kecuali empat macam tanaman tersebut. Sedang bagi fuqoha yang menyatakan bahwa pertalian itu karena kedudukannya sebagai makanan pokok, maka mereka menetapkan wajibnya zakat bagi semua hasil bumi, kecuali rumput, kayu, dan bambu, dikarenakan adanya pertentangan antara qiyas dengan ketentuan umum.
Bagi fuqoha yang memegangi ketentuan umum, mereka mewajbkan zakat pada semua tanaman, selain tanaman yang dikecualikan oleh ijma'. Sedang fuqoha yang memegangi qiyas, mereka hanya mewajibkan zakat atas tanaman-tanaman yang merupakan bahan makanan pokok.
2.Hukum zakat peternakan dan perikanan
Para fuqoha bersepakat wajib zakat atas beberapa jenis binatang, yaitu kerbau, lembu, unta, kambing, dan biri-biri. Namun mereka berbeda pendapat mengenai binatang ternak lainnya, demikian pula mengenai perikanan. Seperti halnya zakat hasil perkebunan, kewajiban mengeluarkan zakat hasil peternakan dan perikananpun harus dikembangkan.
Diantara hewan-hewan yang diperselisihkan ada yang berkenaan dengan macamnya dana dan yang berkaitan dengan sifatnya. Yang diperselisihkan mengenai macamnya ialah kuda. Jumhur berpendapat bahwa kuda tidak wajib dizakati, karena adanya hadits nabi saw:
Artinya: "Tidak ada sedekah (zakat) atas orang Islam, baik pada hamba maupun kudanya."
Sedang Abu Hanifah menyatakan bahwa bila kuda itu dfigembalakan dan dikembangbiakan, maka dikenai zakat bila terdiri dari kuda jantan dan betina. Abu Hanifah mendasarkan pada hadits Nabi saw yang beliau ungkapkan setelah menyebutkan kuda:
ثُمَّ اَمْ يَنْسَ حَقَّ اللهِ فِى ظُهُورِهَا
Artinya:
Dan ia tidak melupakan hak Allah pada lehernya maupun punggungnya.
Abu Hanifah menyatakan bahwa yang dimaksud hak Allah dalam hadits tersebut adalah zakat, yakni pada kuda yang digembalakan.
Adapun mengenai binatang ternak lainnya dan perikanan, jumhur ulama salafiyah tidak mengenakan pungutan apa-apa, karena memang tidak ada nashnya disamping waktu belum dijadikan usaha untuk merncari kekayaan. Ini berbeda dengan sekarang, bahwa peternakan dan perikanan dijadikan usaha besar yang penghasilannya bisa lebih besar dari hewan yang dikenakan zakatnya oleh nash. Berdasarkan inilah sangat tepat para pembaharu dalam bidang fiqih mengqiyaskan binatang tersebut dengan binatang ternak yang wajib dizakati, yakni dengan dikenai zakat.
3.Hukum zakat gaji/upah
Yang dimaksud dengan gaji/upah ialah upah kerja yangdibayar di waktu yang tetap. Disamping gaji ada juga penghasilan lain, sebagai upah atau balas jasa suatu pekerjaan.
Masalah-masalah di atas termasuk garapan ijtihadi, sebab nash tidak mengaturnya. Sekalipun demikian, menurut Masjfuq Zuhdi, bahwa semua macam penghasilan tersebut terkena hukum zakat sebesar 2,5 %.
Kewajiban tersebut menurutnya apabila penghasilan telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan keluarganya yang berupa sandang, pangan, papan beserta alat-alat rumah tangga. Kemudian sisa penghasilan itu masih mencapai satu nishab, yakni senilai 93,6 gram wmas (artinya disamakan dengan emas) dan telah genap satu tahun.
4.Hukum zakat saham, industri, dan lain sebagainya
Asalah di ats juga termasuk bidang garapan ijtihadi sebab tidak ada nash yang mengaturnya. Menurut Masjfuq Zuhdi, bahwa semua saham perusahaan/peseroan baik, yang terjun di bidang perdagangan murni maupun kurs pada waktu mengeluarkan zakatnya, yaitu sebesar 2,5% setahun seperti tijarah, apabila telah mencapai nishab dan sudah haul. Sementara menurut Abdurrahman Isa, tidak semua saham itu dizakati. Apabila saham-saham itu berkaitan dengan perusahaan/perseroan yang berkaitan langsung dengan perdagangan, maka wajib dizakati seluruh sahamnya. Namun bila tidak berkaitan dengan perdagangan atau tidask memproduksi barang untuk diperdagangkan, maka saham-saham itu tidak wajib dizakati.
Di Negara Indonesia semua permasalahan zakat ini sudah diatur dan telah diundangkan dalam hukum positif, yaitu UU no. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Dalam pasal 11 ayat (2) UU tersebut disebutkan bahwa harta yang dikenai zakat adalah:
a.Emas, perak dan uang
b.Perdagangan dan perusahaan
c.Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan
d.Hasil pertambangan
e.Hasil peternakan
f.Hasil pendapatan dan jasa
g.Rikaz
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Setelah penjelasan yang panjang lebar, maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.Pengertian zakat
Makna zakat menurut bahasa ialah "menambah", sedang menurut syara' ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara tertentu kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.
2.Syarat-syarat zakat
a.Syarat sah
b.Syarat wajib
3.Orang yang berhak dan tidak berhak menerima zakat
Orang yang berhak menerima zakat:
a.Fakir
b.Miskin
c.Amil
d.Mualllaf
e.Riqab
f.Gharim
g.Sabilillah
h.Ibnu Sabil
Orang yang tidak berhak menerima zakat:
a.Orang kaya
b.Budak
c.Orang keturunan Sayid Hasyim
d.Orang keturunan Mutholib
e.Orang kafir
f.Orang yang akan membelanjakannya ke arah laku maksiat.
4.Pembagian zakat
a.Zakat Fitrah
b.Zakat mal
B.Penutup
Demikianlah sekedar uraian mengenai zakat, kami hanya dapat berdoa semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya, amin.