You are here: Home > > BIOGRAFI IMAM MALIK

BIOGRAFI IMAM MALIK

IMÂM MÂLIK

A. Biografi Imâm Mâlik
Imâm Mâlik adalah Imâm yang kedua dari Imâm-Imâm empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Imâm Mâlik dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M), dan wafat pada hari Ahad, 10 Rabî’ul Awal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harûn al-Rashîd. Nama lengkapnya adalah Abû Abdillah Mâlik ibn Anâs ibn Mâlik ibn Abû ‘Amîr ibn al-Harîth.
Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, diantara para tabi’in, para cerdik pandai, dan para ahli hukum agama.
Guru beliau yang pertama adalah Abd al-Rahmân ibn Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqh kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabî’ah al-Ra’yi (wafat tahun 136 H). Selanjutnya Imâm Mâlik belajar ilmu hâdîth kepada Imâm Nâfi’ Maula Ibnu ‘Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imâm ibn Shihâb al-Zuhrî.
Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru Imâm Mâlik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Diantara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong ulama tabi’in.
Beliau dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan, dan teliti. Dari kecil beliau membaca al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang sunnah dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan fuqaha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semuanya itu.
Dalam riwayat hidup Imâm Mâlik ada suatu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu penghormatan beliau terhadap hâdîth Nabi, yaitu ketika beliau hendak menyampaikan hâdîth Nabi atau mengajarkannya disertai dengan cara yang istimewa dengan tujuan untuk menghormati hâdîth Nabi tersebut.

B. Pola Pemikiran, dan Metode Istidlâl Imâm Mâlik dalam Menetapkan Hukum Islam
Imâm Mâlik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imâm Abû Hanîfah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imâm Mâlik tumbuh sebagai seorang ulama terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hâdîth dan fiqh. Sebagai bukti atas hal ini, adalah ucapan al-Dahlawy, “Mâlik adalah orang paling ahli dalam bidang hâdîth di Madinah yang paling mengetahui keputusan ‘Umar, yang paling mengetahui pendapat-pendapat Abdullah ibn ‘Umar, ‘Aisyah Ra. dan sahabat-sahabat lainnya, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa.
Sebagai seorang ahli hâdîth, kepandaian beliau tentang ilmu hâdîth dapat kita ketahui melalui pengakuan para ahli ilmu hâdîth, diantaranya:
1. Imâm Muhammad bin Idrîs al-Shâfi’î berkata, “Apabila datang hâdîth kepadamu dari Imâm Mâlik, maka pegang teguhlah olehmu dengan kedua tanganmu, karena ia menjadi alasan bagimu.
2. Imâm Yahyâ bin Mu’în pernah berkata, “Imâm Mâlik adalah seorang raja bagi orang-orang yang beriman tentang ilmu hâdîth, yakni seorang yang tertinggi tentang ilmu hâdîth.
Sedangkan kepandaian Imâm Mâlik tentang ilmu agama dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya seperti pernyataan Imâm Hanâfî yang menyatakan bahwa, “Beliau tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih alim daripada Imâm Mâlik. Bahkan Imâm al-Laith bin Sa’ad pernah berkata, bahwa pengetahuan Imâm Mâlikî adalah pengetahuan orang yang taqwa kepada Allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil pengetahuan.
Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati sebagaimana diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “Saya tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hâdîth, sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakui.
Adapun metode istidlâl Imâm Mâlik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang kepada:
1. Al-Qur’an
Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhûm al-mukhâlafah dan mafhûm al-aulâ dengan memperhatikan ‘illatnya.
2. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imâm Mâlik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an.
3. Ijmâ’ Ahl al-Madînah
Ijmâ’ ahl al-Madînah ini ada dua macam, yaitu ijmâ’ ahl al-Madînah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihâd ahl al-Madînah, seperti ukuran mud, sâ’, dan lain-lain. Ijmâ’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imâm Mâlik.
Menurut Ibnu Taymiyah, yang dimaksud dengan ijmâ’ ahl al-Madînah tersebut adalah ijmâ’ ahl al-Madînah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madînah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijmâ’ ahl al-Madînah yang asalnya dari al-Naql sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Ijmâ’ ahl al-madînah ini ada beberapa tingkatan, yaitu:
a. Kesepakatan ahl al-Madînah yang asalnya al-Naql.
b. Amalan ahl al-Madînah sebelum terbunuhnya Uthmân bin ‘Affân. Ijmâ’ yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi madhhab Mâlikî.
c. Amalan ahl al-Madînah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, apabila ada dua dalil yang yang saling bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan amalah ahl al-Madînah, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl al-Madînah itulah yang dijadikan hujjah menurut madhhab Mâlikî. Begitu pula bagi madhhab Shâfi’î.
d. Amalan ahl al-Madînah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl al-Madînah seperti ini bukan hujjah, baik menurut al-Shâfi’î, Ahmad ibn Hanbal, Abu Hanîfah, maupun menurut para ulama di kalangan madhhab Mâlikî.
4. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan fatwa sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql.
5. Khabar Ahad dan Qiyâs
Imâm Mâlik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbât, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil yang qat’î.
6. Al-Istihsân
Menurut madhhab Mâlikî, al-istihsân adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kullî (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlâl al-mursal daripada qiyâs, sebab mengunakan istihsân itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat sharâ’ secara keseluruhan.
7. Al-Maslahah al-Mursalah
Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nas, dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan sharî’at diturunkan. Tujuan syari’at dirurunkan dapat diketahui melalui al-Qur’an atau sunnah atau ijmâ’.
8. Sadd al-Zarâ’i
Menurut Imâm Mâlik, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada halal, halal pula hukumnya.
9. Ishishâb
Ishishâb adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
10. Shar’u man qablanâ shar’un lanâ
Menurut Qâdhî Abd Wahâb al-Mâlikî, bahwa Imâm Mâlik menggunakan kaidah ini sebagai hukum, tetapi menurut Sayyid Muhammad Mûsâ, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imâm Mâlik yang mengatakan demikian.

C. Karya-Karya Imâm Mâlik dan Penyebaran Madhhabnya
Diantara karya-karya Imâm Mâlik adalah kitab al-Muwatta’. Kita tersebut ditulis tahun 144 H atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshûr. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abû Bakar al-Abhâry, atsar Rasulullah SAW sahabat tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwatta’ sejumlah 1.720 buah.
Pendapat Imâm Mâlik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al-Muwatta’ dan al-Mudâwanah al-Kubrâ.
Madhhab Imâm Mâlik pada mulanya timbul dan berkembang di kota Madinah, tempat kelahiran beliau, kemudian tersiar ke negeri Hijaz.
Perkembangan Madhhab Mâlikî sempat surut di Mesir, karena pada masa itu berkembang pula madhhab Shâfi’î dan sebagian penduduknya telah mengikuti madhhab Shâfi’î, tetapi pada zaman pemerintahan Ayyubiyah, madhhab Mâlikî kembali hidup.
Sebagaimana di Mesir, demikian juga di Andalusia, di masa pemerintahan Hishâmm Ibn Abd Rahmânî, para ulama yang mendapat kedudukan tinggi menjabat sebagai hakim negara, adalah mereka yang mengatur madhhab Mâlikî, sehingga madhhab ini bertambah subur dan berkembang pesat di sana. Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan Imâm Ibnu Hâshim, “Dua aliran madhhab yang kedua-duanya tersiar dan berkembang pada permulaaannya adalah kedudukan dan kekuasaan, yaitu madhhab Hanâfî di Timur dan madhhab Mâlikî di Andalusia.
Diantara para sahabat Imâm Mâlik yang berjasa mengembangkan madhhabnya antara lain: ‘Uthmân ibn al-Hakam al-Juzâmi, Abd Rahmân ibn Khâlid ibn Yazîd ibn Yahyâ, Abd Rahmân ibn al-Qâsim, Asyab ibn Abd ‘Azîz, Ibn Abd al-Hakam, Harîth ibn Miskîn, dan orang-orang yang semasa dengan mereka.
Oleh karena jasa mereka itu, madhhab Mâlikî dapat tersebar dan berkembang serta dikenal kaum muslimin hampir di seluruh negeri. Madhhab Mâlikî sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, Lybia, dan Mesir. Masih tersiar juga di Irak, Palestina, Hijaz, dan lain-lainnya di sekitar jazirah Arabia, tetapi tidak begitu banyak orang mengikutinya.

D. Analisis
Imâm Mâlik adalah salah satu Imâm madhhab yang beraliran ahl al-hâdîth. Imâm Mâlik dalam sejarah hidupnya hanya menetap di kota Madinah, kecuali ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau sangat dipengaruhi oleh amalan penduduk Madinah. Begitu besar pengaruhnya samai-sampai khabar ahad dapat diterima oleh beliau jika tidak bertentangan dengan ahlu Madinah, atau dikuatkan oleh dalil lain yang qat’î.
Walaupun demikian, yaitu dalam satu sisi ia sangat terpengaruh oleh amalan penduduk Madinah, tetapi dalam sisi yang lain ia juga menggunakan maslahah mursalah dan istihsân sebagai sumber hukum. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh adanya beberapa perubahan kota Madinah pada zaman Rasulullah SAW, sehingga menurut pandangan Imâm Mâlik, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengatasainya, kecuali dengan jalan lain yaitu menggunakan maslahah mursalah dan istihsan sebagai sumber hukum.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
You are here: Home > > HUKUM ADAT

HUKUM ADAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Adat dan Hukum Adat
1. Pengertian Adat Menurut Roelof Van Dijk dan Hazairin
a. Roelof Van Dijk
Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Adat adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari.
b. Hazairin
Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam suatu masyarakat.
2. Pengertian Hukum Adat Menurut Supomo dan Kusumadi Pudjosewojo
Supomo mengatakan hukum adat (non Statutory, judgemade law, customary low) sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis. Kusumadi Pudjosewojo mengatakan hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang menjadi dan sekaligus merupakan hukum pula.

B. Teori Reseptio in Complex
Menurut Teori ini, adat istiadat dan hukum adat atau golongan hukum masyarakat adalah reseptio seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat. Teori ini ditentang oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollen Hoven dengan alasan tidak semua bagian hukum agama di terima dalam hukum adat, melainkan bagian tertentu yang menyangkut kepercayaan dan hidup batin seseorang.


BAB II
HUKUM PERSEORANGAN DAN HUKUM
KEKELUARGAAN

A. Keturunan
Di Indonesia dikenal 3 macam sistem keturunan:
1. Sistem keturunan dalam masyarakat keibuan (Matrilineal) yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang anggotanya menarik garis keturunan melalui garis keturunan ibu seperti Minangkabau.
2. Sistem keturunan masyarakat dengan garis keturunan bapak (Patrilinieal)
Yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan melalui bapak seperti : Batak.
3. Sistem keturunan dalam masyarakat ke ibu bapakan (bilateral) yaitu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan dari ibu dan Bapak.
Dalam hukum adat ada 2 sistem masyarakat bilateral yaitu :
1. Masyarakat bilateral di Jawa yaitu bilateral yang terhimpun dalam kesatuan kecil yaitu keluarga, family, gozin.
2. Masyarakat bilateral di Kalimantan, yaitu sistem bilateral yang terhimpun dalam unit besar terdiri dari 12 sampai 20 keluarga di dalam suatu rumah besar, disebut tribo, rumpun atau kelompok.
3.
B. Hubungan Anak dengan Orang Tua dan Kerabat
Bahwa hubungan antara anak, orang tua dan kerabat itu sangat erat. Di mana antara hak dan kewajiban mereka bertiga adalah seimbang, semisal tentang kewajiban terhadap nak, jika orang tua tidak mampu melaksanakan kewajiban terhadap anak, maka kerabat lain ikut andil dalam pertanggungjawaban terhadap anak tersebut.

C. Memelihara dan Mengangkat Anak dari Keluarga atau dari Orang Lain
Pada dasarnya kewajiban memelihara anak merupakan kewajiban kedua orang tuanya. Namun apabila kedua orang tuanya tidak mampu, maka kerabatlah yang berkewajiban memeliharanya.
Adapun dalam pemungutan anak, atau dengan istilah “Adoptic” menurut hukum Islam itu tidak diperbolehkan. Dalam hukum adat adaptio adalah perjanjian pelihara. Dalam perjanjian ini pemelihara menanggung nafkah yang terpelihara lebih-lebih selama masa tuanya.

D. Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak
Dari akibat hukum pengangkatan anak itu mengakibatkan kedudukan anak angkat menjadi sama dengan kedudukan anak kandung. Ia akan menjadi penerus dan pewaris orang tua kandungnya dan orang tua angkatnya.
Adapun untuk anak pupon itu bukan sebagai waris karena pada dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah hubungan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya kecuali apabila kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat
Tujuan penitipan dan pengangkatan ini tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka.


BAB III
HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA
PERKAWINAN

A. Arti dan Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat
Menurut Ter Haar, perkawinan merupakan kepentingan urusan kerabat, keluarga masyarakat, derajat dan urusan pribadi di antara satu dengan yang lain di dalam hubungan yang beraneka ragam.
Dalam lingkungan masyarakat kerabat, perkawinan merupakan syarat untuk meneruskan silsilah, sehingga perkawinan adalah urusan keluarga. Oleh sebab itu tujuan dari perkawinan adalah untuk melestarikan golongan dengan tertib.

B. Sistem Perkawinan Adat
1. Sistem perkawinan Endogami yaitu pria mencari istri dalam lingkungan kerabat, famili sendiri dan dilarang mencari istri dari lingkungan kerabat, seperti di daerh Toraja.
2. Sistem perkawinan Exogami, yaitu pria mencari calon istri yang di luar marga dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga seperti di Minangkabau
3. Sistem Perkawinan Elouterogami yaitu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan yang berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi oleh hukum Islam.

C. Pengaruh Agama Islam dalam Perkawinan Adat
Pengaruh yang paling jelas dapat dilihat dari perkawinan bermadu yang terdapat hampir di semua lingkungan masyarakat ada di mana seorang suami mempunyai beberapa istri. Di dalam Islam, perkawinan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ayat Al Qur’an Surat An Nisa ayat 3.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, maka jiwa ketentuan dari Al Qur’an disalurkan ke dalam pasal-pasal yang menyatakan:
1. Pada asanya seseorang pria / wanita hanya boleh mempunyai seorang istri atau suami
2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

D. Perceraian dan Akibat-Akibatnya
1. Perceraian
Perceraian dalam hukum adat maupun hukum agama adalah perbuatan tercela, perceraian menurut Islam merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah. Dalam masyarakat Batak dan Lampung, perceraian berarti putusnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang bersangkutan. Adapun tata cara perceraian ini disebutkan dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 39.
2. Akibat-Akibat Perceraian
Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan serta kedudukan harta perkawinan:
Di lingkungan masyarakat patrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak tersebut tetap berada dalam kekerabatan suami sekaligus sebagai pewarisnya. Dalam masyarakat matrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak ikut dalam kekerabatan istri sekaligus sebagai pewarisnya. Sedangkan kedudukan anak-anaknya tergantung keadaan. Apabila anak tersebut berhak berada dalam tanggung jawabnya bapak berarti anak tersebut ikut bapak dan berhak menjadi pewarisnya begitu juga sebaliknya.


E. Fungsi Harta Perkawinan
Adapun fungsi harta perkawinan adalah untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari bagi suami istri anak-anaknya dan kerabat yang hidup dalam lingkungan rumah tangga tersebut.

F. Pemisahan Harta Perkawinan
Harta warisan ada 4 macam yaitu:
1. Harta bawaan
Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan
2. Harta Penghasilan
Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan
3. Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan
4. Harta hadiah perkawinan
Yaitu hart yang diperoleh suami dan istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah

G. Status Hukum Harta yang Diperoleh antara Suami Istri dalam Perkawinan
Kedudukan harta yang diperoleh oleh suami atau istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh istri maka harta itu milik istri, sebaliknya jika hartanya itu dari suami, maka harta itu milik suami. Andaikata harta tersebut diperoleh dari suami dan istri secara bersama maka harta tersebut milik bersama. Namun jika diperoleh dari harta bawaan perkawinan, maka harta itu digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-harinya dalam rumah tangganya.


BAB IV
PENGERTIAN WARIS DAN SIFATNYA

A. Pengertian Waris
1. Pengertian
Sementara itu Soepomo mengartikan hukum adat waris sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immaterial Goenderen) dari satu angkatan kepada keturunannya.
Adapun pengertian waris menurut hukum adat adalah sama dengan pendapat yang dikatakan Soepomo.
Sedangkan menurut Mr. Wirjono Prodiodihoro pengertian warisan adalah tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan, seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.
Sesungguhnya mengartikan waris setelah peristiwa wafat memang benar, jika dilihat dari hukum Islam dan KUH Perdata. Akan tetapi jika dilihat dari hukum adat, maka sebelum pewaris wafat sudah bisa dilakukan pengalihan harta.
2. Sifat Hukum Waris
Hukum waris adat ini mempunyai corak dan sifat. Sifat tersendiri yang khas Indonesia jika dibandingkan dengan KUH Perdata. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan.

B. Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-Bagi
Kemungkinan tidak terbaginya harta peninggalan itu adalah dikarenakan kepentingan, dan kegunaannya sebagai pemersatu kekerabatan, di antara alasannya sebagai berikut :
1. Tidak dapat dibagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan atribut dari kesatuan hidup kekerabatan adat di bawah pimpinan kepala adat.
2. Telah dibagi-bagikan pemilihan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya, sebagai milik bersama dari suatu kerabat kecil yang berfungsi dan berperan sebagai tali pengikat kekuatan keluarga di bawah pimpinan kepala kerabat bersangkutan
3. Tidak terbagi-baginya pemilihan harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah adalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota menjadikannya sebagai tempt kediaman.

C. Penghibahan (Pewarisan) dan Hibah Wasiat
Perebutan penghibahan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah kepada seorang anak yang berhak atas warisan orang tua terikat pada aturan bahwa semua anak harus mendapatkan bagian yang patutu dari peninggalan.
Pewarisan dan hibah wasiat mempunyai dua corak:
1. Mereka-mereka yang menerima harta, itu adalah ahli waris yaitu istri dan anak-anak
2. Orang yang mewariskan itu meskipun terikat oleh peraturan bahwa semua anak harus mendapat bagian yang layak, hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris seorang anak, akan tetapi dalam menentukan barang mana yang untuk istri dan anak adalah bebas.

D. Harta Keluarga Marga yang Merupakan Harta Peninggalan
Di dalam sebuah keluarga, jika suaminya telah meninggal dunia dan anak-anak telah mandiri seorang istri mempunyai kedudukan istimewa, sebab istri sebagai janda menguasai rumah yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya dan berhak menetap di rumah itu sekaligus berhak untuk memegang harta benda yang ditinggalkan, jika ia memerlukannya dan selama memerlukannya untuk kehidupannya.
Di Jawa, kedudukan duda (janda lelaki) terhadap harta peninggalan, pada dasarnya sama dengan kedudukan janda perempuan, ini memang sesuai dengan sistem keluarga di Jawa yang berdasar turunan dari kedua belah pihak orang tua (Ouderrechtteurk)

E. Pembagian Harta Peninggalan
Jika si peninggal warisan sewaktu hidupnya tidak memberikan semua harta bendanya dengan jalan menghibahkan dan setelah dikurangi hutang-hutangnya masih terdapat sisa, maka harta peninggalan itu dapat dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Suatu saat harta tersebut di bagi-bagi maka pembagiannya tidak menurut aturan-aturan yang ada.
Jika salah seorang atau beberapa orang waris menghendaki membagi harta peninggalan, sedangkan waris lainnya tidak menyetujui, maka perkara tersebut diajukan kepada hakim atau hakim jabatan untuk memperoleh penyelesaiannya.

F. Para Ahli Waris
1. Anak Kandung yang terbagi menjadi anak sah, anak tidak syah, waris anak lelaki, waris anak perempuan, waris anak lki-laki dan perempuan, waris anak sulung, waris anak sulung pria, waris anak wanita, waris anak pangkalan dan anak bungsu.
2. Anak tiri dan anak angkat, yakni : anak tiri, anak angkat, anak angkat mewaris.
3. Waris Balu Janda atau Duda, yakni Balu dalam sistem Patrilineal, Balu dalam sistem matrilineal, Balu dalam sistem parental.
4. Para waris lainnya.


BAB V
HUKUM TANAH

A. Hak Persekutuan Atas Tanah
Persekutuan atas pemilikan tanah itu, terdiri dari latar belakang dan hak ke dalam, hak keluar maksudnya, kewenangan bersama untuk memungut hasil dari tanah yang tidak dimiliki untuk orang lain. Adapun hak di dalam maksudnya, masyarakat berhak mengatur pemungutan hasil oleh anggota-anggotanya berdasarkan atas hak dari masyarakat dan masing-masing anggota mendapat bagiannya yang sah, dengan jalan membatasi hak-hak, perseorangan guna kepentingan masyarakat.
Dalam hak persekutuan terdapat hak-hak orang seorang secara timbal balik dan terus menerus. Masing-masing dari merek berhak mempertahankan hak orang seorang terhadap hak persekutuan itu.

B. Hak Perseorangan Atas Tanah
Hak perseorangan atas tanah di batasi oleh kelonggaran yang ditentukan oleh “Beschikking Screht” berupa hak milik (Het Inlads besitssrecht). Seorang anggota masyarakat yang berhak memiliki pekarangan/ ladang ia berhak menikmati (Genot recht)
Perjanjian tanah yaitu: pemilikan tanah, jual lepas, jual gadai, jual tahunan, pemberian tanah, pembuktian tanah.

C. Transaksi Tanah dan Transaksi yang Ada Hubungannya dengan Tanah
Yaitu perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa, perjanjian berganda, perjanjian pinjaman dengan jaminan tanah, perjanjian semu (Simulasi).

D. Status Tanah Adat dalam UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960)
Di dalam pasal 3 UUPA tentang pelaksanaan hak dikatakan bahwa pelaksanaan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara.
Selanjutnya di dalam pasal 5 UUPA dikatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruangannya ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa atau kondisi sosial Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berstandar pada hukum agama.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
You are here: Home > > HIPOTESIS, TEKNIK PENGUMPULAN DATA, DAN METODE ANALISIS DATA

HIPOTESIS, TEKNIK PENGUMPULAN DATA, DAN METODE ANALISIS DATA

HIPOTESIS, TEKNIK PENGUMPULAN DATA, DAN METODE ANALISIS DATA

A. Hipotesis
Hipotesis pada dasarnya adalah dugaan peneliti tentang hasil yang akan didapat. Tujuan ini dapat diterima apabila ada cukup data untuk membuktikannya. Apabila peneliti tidak memiliki opini atau dugaan tentang jawaban permasalahan penelitiannya, maka penelitian ini tidak ada hipotesisnya.
Memang ada perbedaan pendapat tentang apakah setiap permasalahan harus ada hipotesisnya atau tidak. Di satu pihak, menyatakan bahwa apabila peneliti tidak memiliki opini tentang hasil penelitiannya, maka tidak diperlukan adanya hipotesis. Di pihak lain menyatakan hipotesis nolnya, dengan kata lan, peneliti harus mengajukan hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara bermakna dalam penelitian yang akan dilakukannya. Dalam penelitian hukum, hipotesis dapat ada atau tidak, tergantung dari tipe dan kerangka teori atau metodologinya.
Pada umumnya dikenal adanya hipotesis:
1. Kerja (research hypothesis), biasanya dirumuskan dalam pernyataan: “Jika…., maka….”, artinya “Jika tidak ada fakta X, maka tentu ada juga fakta Y”. Di sini, X disebut variabel penyebab, dan Y merupakan variabel akibat.
2. Penguji (statistical hypothesis) dikenal juga sebagai Hipoteis nihil (Ho) dan Hipotesis alternatif (Ha). Hipotesis/Ho biasanya dirumuskan dalam pernyataan: “Tidak ada perbedaan antara…., dengan….”. Sedangkan Hipotesis/Ha biasanya dirumuskan: “Lebih besar dari…. lebih kecil dari….”.
Jadi, hipotesis alternatif dirumuskan dalam bentuk adanya hubungan antara X dan Y, atau dalam bentuk adanya perbedaan keadaan antara dua variabel.
Secara umum, untuk merumuskan suatu hipotesis hendaknya:
1. Menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih;
2. Dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan (deklaratif);
3. Dirumuskan secara singkat, jelas, dan padat;
4. Dapat diuji kebenarannya dengan cara mengumpulkan data empirik.

B. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya, data dapat dikelompokkan pada setting alamiah (natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen di rumah dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan, dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya.
Dalam penelitian data kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participan observation), wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi.

C. Metode Analisis Data
Mengolah dan menganalisis data pada pokoknya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1. Editing
Apabila data-data telah diperoleh, maka berkas-berkas catatan informasi akan diolah. Pengolahan data yang pertama adalah meneliti kembali catatan untuk mengetahui apakah catatan itu sudah cukup baik dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses berikutnya, atau yang biasa disebut dengan istilah editing.
Dalam editing ini, yang dikoreksi kembali adalah meliputi hal-hal: (1) lengkapnya pengisian kuesioner; (2) keterbacaan tulisan atau catatan, (3) kejelasan makna jawaban; (4) keajegan dan atau kesesuaian jawaban satu dengan yang lainnya; (5) relevansi jawaban; dan (6) keseragaman satuan data.
2. Coding
Coding yaitu proses untuk mengklasifikasikan jawaban-jawaban para responden menurut kriteria atau macam yang ditetapkan. Klasifikasi ini dilakukan dengan cara menandai masing-masing jawaban dengan “tanda kode” tertentu, misalnya dengan angka (angka kode).
Kategori dalam coding harus memperhatikan:
a. Kategori harus didasarkan pada satu satu asas kriterium tunggal;
b. Setiap kategori harus dibuat lengkap;
c. Kategori tersebut satu sama lain harus saling terpisah tegas, dan tidak boleh saling overlap.
3. Menghitung frekuensi
Setelah coding selesai dikerjakan, maka diketahui bahwa setiap kategori telah menampung dan memuat data-data dalam jumlah (frekuensi tertentu). Pada akhir tahap coding ini peneliti akan memperoleh distribusi data dalam frekuensi-frekuensi tertentu pada masing-masing kategori yang ada.
4. Tabulasi
Tabulasi adalah proses penyusunan data kedalam bentuk tabel.
5. Mengukur derajat besarnya hubungan antar variabel
Derajat besarnya hubungan antara dua variabel itu selalu diukur dengan hasil yang dinyatakan dalam lambang bilangan antara: 0,00 dan 1,00 (atau –1,00). Apabila diperoleh hasil 0,00 berarti hubungan antara dua vaariabel tersebut tidak ada, dan apabila angka yang diperoleh adalah 1,00 atau –1,00 berarti hubungan itu ada secara sempurna.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS