HUKUM ADAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Adat dan Hukum Adat
1. Pengertian Adat Menurut Roelof Van Dijk dan Hazairin
a. Roelof Van Dijk
Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Adat adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari.
b. Hazairin
Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam suatu masyarakat.
2. Pengertian Hukum Adat Menurut Supomo dan Kusumadi Pudjosewojo
Supomo mengatakan hukum adat (non Statutory, judgemade law, customary low) sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis. Kusumadi Pudjosewojo mengatakan hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang menjadi dan sekaligus merupakan hukum pula.
B. Teori Reseptio in Complex
Menurut Teori ini, adat istiadat dan hukum adat atau golongan hukum masyarakat adalah reseptio seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat. Teori ini ditentang oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollen Hoven dengan alasan tidak semua bagian hukum agama di terima dalam hukum adat, melainkan bagian tertentu yang menyangkut kepercayaan dan hidup batin seseorang.
BAB II
HUKUM PERSEORANGAN DAN HUKUM
KEKELUARGAAN
A. Keturunan
Di Indonesia dikenal 3 macam sistem keturunan:
1. Sistem keturunan dalam masyarakat keibuan (Matrilineal) yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang anggotanya menarik garis keturunan melalui garis keturunan ibu seperti Minangkabau.
2. Sistem keturunan masyarakat dengan garis keturunan bapak (Patrilinieal)
Yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan melalui bapak seperti : Batak.
3. Sistem keturunan dalam masyarakat ke ibu bapakan (bilateral) yaitu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan dari ibu dan Bapak.
Dalam hukum adat ada 2 sistem masyarakat bilateral yaitu :
1. Masyarakat bilateral di Jawa yaitu bilateral yang terhimpun dalam kesatuan kecil yaitu keluarga, family, gozin.
2. Masyarakat bilateral di Kalimantan, yaitu sistem bilateral yang terhimpun dalam unit besar terdiri dari 12 sampai 20 keluarga di dalam suatu rumah besar, disebut tribo, rumpun atau kelompok.
3.
B. Hubungan Anak dengan Orang Tua dan Kerabat
Bahwa hubungan antara anak, orang tua dan kerabat itu sangat erat. Di mana antara hak dan kewajiban mereka bertiga adalah seimbang, semisal tentang kewajiban terhadap nak, jika orang tua tidak mampu melaksanakan kewajiban terhadap anak, maka kerabat lain ikut andil dalam pertanggungjawaban terhadap anak tersebut.
C. Memelihara dan Mengangkat Anak dari Keluarga atau dari Orang Lain
Pada dasarnya kewajiban memelihara anak merupakan kewajiban kedua orang tuanya. Namun apabila kedua orang tuanya tidak mampu, maka kerabatlah yang berkewajiban memeliharanya.
Adapun dalam pemungutan anak, atau dengan istilah “Adoptic” menurut hukum Islam itu tidak diperbolehkan. Dalam hukum adat adaptio adalah perjanjian pelihara. Dalam perjanjian ini pemelihara menanggung nafkah yang terpelihara lebih-lebih selama masa tuanya.
D. Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak
Dari akibat hukum pengangkatan anak itu mengakibatkan kedudukan anak angkat menjadi sama dengan kedudukan anak kandung. Ia akan menjadi penerus dan pewaris orang tua kandungnya dan orang tua angkatnya.
Adapun untuk anak pupon itu bukan sebagai waris karena pada dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah hubungan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya kecuali apabila kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat
Tujuan penitipan dan pengangkatan ini tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka.
BAB III
HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA
PERKAWINAN
A. Arti dan Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat
Menurut Ter Haar, perkawinan merupakan kepentingan urusan kerabat, keluarga masyarakat, derajat dan urusan pribadi di antara satu dengan yang lain di dalam hubungan yang beraneka ragam.
Dalam lingkungan masyarakat kerabat, perkawinan merupakan syarat untuk meneruskan silsilah, sehingga perkawinan adalah urusan keluarga. Oleh sebab itu tujuan dari perkawinan adalah untuk melestarikan golongan dengan tertib.
B. Sistem Perkawinan Adat
1. Sistem perkawinan Endogami yaitu pria mencari istri dalam lingkungan kerabat, famili sendiri dan dilarang mencari istri dari lingkungan kerabat, seperti di daerh Toraja.
2. Sistem perkawinan Exogami, yaitu pria mencari calon istri yang di luar marga dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga seperti di Minangkabau
3. Sistem Perkawinan Elouterogami yaitu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan yang berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi oleh hukum Islam.
C. Pengaruh Agama Islam dalam Perkawinan Adat
Pengaruh yang paling jelas dapat dilihat dari perkawinan bermadu yang terdapat hampir di semua lingkungan masyarakat ada di mana seorang suami mempunyai beberapa istri. Di dalam Islam, perkawinan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ayat Al Qur’an Surat An Nisa ayat 3.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, maka jiwa ketentuan dari Al Qur’an disalurkan ke dalam pasal-pasal yang menyatakan:
1. Pada asanya seseorang pria / wanita hanya boleh mempunyai seorang istri atau suami
2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
D. Perceraian dan Akibat-Akibatnya
1. Perceraian
Perceraian dalam hukum adat maupun hukum agama adalah perbuatan tercela, perceraian menurut Islam merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah. Dalam masyarakat Batak dan Lampung, perceraian berarti putusnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang bersangkutan. Adapun tata cara perceraian ini disebutkan dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 39.
2. Akibat-Akibat Perceraian
Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan serta kedudukan harta perkawinan:
Di lingkungan masyarakat patrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak tersebut tetap berada dalam kekerabatan suami sekaligus sebagai pewarisnya. Dalam masyarakat matrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak ikut dalam kekerabatan istri sekaligus sebagai pewarisnya. Sedangkan kedudukan anak-anaknya tergantung keadaan. Apabila anak tersebut berhak berada dalam tanggung jawabnya bapak berarti anak tersebut ikut bapak dan berhak menjadi pewarisnya begitu juga sebaliknya.
E. Fungsi Harta Perkawinan
Adapun fungsi harta perkawinan adalah untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari bagi suami istri anak-anaknya dan kerabat yang hidup dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
F. Pemisahan Harta Perkawinan
Harta warisan ada 4 macam yaitu:
1. Harta bawaan
Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan
2. Harta Penghasilan
Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan
3. Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan
4. Harta hadiah perkawinan
Yaitu hart yang diperoleh suami dan istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah
G. Status Hukum Harta yang Diperoleh antara Suami Istri dalam Perkawinan
Kedudukan harta yang diperoleh oleh suami atau istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh istri maka harta itu milik istri, sebaliknya jika hartanya itu dari suami, maka harta itu milik suami. Andaikata harta tersebut diperoleh dari suami dan istri secara bersama maka harta tersebut milik bersama. Namun jika diperoleh dari harta bawaan perkawinan, maka harta itu digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-harinya dalam rumah tangganya.
BAB IV
PENGERTIAN WARIS DAN SIFATNYA
A. Pengertian Waris
1. Pengertian
Sementara itu Soepomo mengartikan hukum adat waris sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immaterial Goenderen) dari satu angkatan kepada keturunannya.
Adapun pengertian waris menurut hukum adat adalah sama dengan pendapat yang dikatakan Soepomo.
Sedangkan menurut Mr. Wirjono Prodiodihoro pengertian warisan adalah tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan, seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.
Sesungguhnya mengartikan waris setelah peristiwa wafat memang benar, jika dilihat dari hukum Islam dan KUH Perdata. Akan tetapi jika dilihat dari hukum adat, maka sebelum pewaris wafat sudah bisa dilakukan pengalihan harta.
2. Sifat Hukum Waris
Hukum waris adat ini mempunyai corak dan sifat. Sifat tersendiri yang khas Indonesia jika dibandingkan dengan KUH Perdata. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan.
B. Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-Bagi
Kemungkinan tidak terbaginya harta peninggalan itu adalah dikarenakan kepentingan, dan kegunaannya sebagai pemersatu kekerabatan, di antara alasannya sebagai berikut :
1. Tidak dapat dibagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan atribut dari kesatuan hidup kekerabatan adat di bawah pimpinan kepala adat.
2. Telah dibagi-bagikan pemilihan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya, sebagai milik bersama dari suatu kerabat kecil yang berfungsi dan berperan sebagai tali pengikat kekuatan keluarga di bawah pimpinan kepala kerabat bersangkutan
3. Tidak terbagi-baginya pemilihan harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah adalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota menjadikannya sebagai tempt kediaman.
C. Penghibahan (Pewarisan) dan Hibah Wasiat
Perebutan penghibahan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah kepada seorang anak yang berhak atas warisan orang tua terikat pada aturan bahwa semua anak harus mendapatkan bagian yang patutu dari peninggalan.
Pewarisan dan hibah wasiat mempunyai dua corak:
1. Mereka-mereka yang menerima harta, itu adalah ahli waris yaitu istri dan anak-anak
2. Orang yang mewariskan itu meskipun terikat oleh peraturan bahwa semua anak harus mendapat bagian yang layak, hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris seorang anak, akan tetapi dalam menentukan barang mana yang untuk istri dan anak adalah bebas.
D. Harta Keluarga Marga yang Merupakan Harta Peninggalan
Di dalam sebuah keluarga, jika suaminya telah meninggal dunia dan anak-anak telah mandiri seorang istri mempunyai kedudukan istimewa, sebab istri sebagai janda menguasai rumah yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya dan berhak menetap di rumah itu sekaligus berhak untuk memegang harta benda yang ditinggalkan, jika ia memerlukannya dan selama memerlukannya untuk kehidupannya.
Di Jawa, kedudukan duda (janda lelaki) terhadap harta peninggalan, pada dasarnya sama dengan kedudukan janda perempuan, ini memang sesuai dengan sistem keluarga di Jawa yang berdasar turunan dari kedua belah pihak orang tua (Ouderrechtteurk)
E. Pembagian Harta Peninggalan
Jika si peninggal warisan sewaktu hidupnya tidak memberikan semua harta bendanya dengan jalan menghibahkan dan setelah dikurangi hutang-hutangnya masih terdapat sisa, maka harta peninggalan itu dapat dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Suatu saat harta tersebut di bagi-bagi maka pembagiannya tidak menurut aturan-aturan yang ada.
Jika salah seorang atau beberapa orang waris menghendaki membagi harta peninggalan, sedangkan waris lainnya tidak menyetujui, maka perkara tersebut diajukan kepada hakim atau hakim jabatan untuk memperoleh penyelesaiannya.
F. Para Ahli Waris
1. Anak Kandung yang terbagi menjadi anak sah, anak tidak syah, waris anak lelaki, waris anak perempuan, waris anak lki-laki dan perempuan, waris anak sulung, waris anak sulung pria, waris anak wanita, waris anak pangkalan dan anak bungsu.
2. Anak tiri dan anak angkat, yakni : anak tiri, anak angkat, anak angkat mewaris.
3. Waris Balu Janda atau Duda, yakni Balu dalam sistem Patrilineal, Balu dalam sistem matrilineal, Balu dalam sistem parental.
4. Para waris lainnya.
BAB V
HUKUM TANAH
A. Hak Persekutuan Atas Tanah
Persekutuan atas pemilikan tanah itu, terdiri dari latar belakang dan hak ke dalam, hak keluar maksudnya, kewenangan bersama untuk memungut hasil dari tanah yang tidak dimiliki untuk orang lain. Adapun hak di dalam maksudnya, masyarakat berhak mengatur pemungutan hasil oleh anggota-anggotanya berdasarkan atas hak dari masyarakat dan masing-masing anggota mendapat bagiannya yang sah, dengan jalan membatasi hak-hak, perseorangan guna kepentingan masyarakat.
Dalam hak persekutuan terdapat hak-hak orang seorang secara timbal balik dan terus menerus. Masing-masing dari merek berhak mempertahankan hak orang seorang terhadap hak persekutuan itu.
B. Hak Perseorangan Atas Tanah
Hak perseorangan atas tanah di batasi oleh kelonggaran yang ditentukan oleh “Beschikking Screht” berupa hak milik (Het Inlads besitssrecht). Seorang anggota masyarakat yang berhak memiliki pekarangan/ ladang ia berhak menikmati (Genot recht)
Perjanjian tanah yaitu: pemilikan tanah, jual lepas, jual gadai, jual tahunan, pemberian tanah, pembuktian tanah.
C. Transaksi Tanah dan Transaksi yang Ada Hubungannya dengan Tanah
Yaitu perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa, perjanjian berganda, perjanjian pinjaman dengan jaminan tanah, perjanjian semu (Simulasi).
D. Status Tanah Adat dalam UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960)
Di dalam pasal 3 UUPA tentang pelaksanaan hak dikatakan bahwa pelaksanaan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara.
Selanjutnya di dalam pasal 5 UUPA dikatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruangannya ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa atau kondisi sosial Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berstandar pada hukum agama.
PENDAHULUAN
A. Pengertian Adat dan Hukum Adat
1. Pengertian Adat Menurut Roelof Van Dijk dan Hazairin
a. Roelof Van Dijk
Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Adat adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari.
b. Hazairin
Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam suatu masyarakat.
2. Pengertian Hukum Adat Menurut Supomo dan Kusumadi Pudjosewojo
Supomo mengatakan hukum adat (non Statutory, judgemade law, customary low) sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis. Kusumadi Pudjosewojo mengatakan hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang menjadi dan sekaligus merupakan hukum pula.
B. Teori Reseptio in Complex
Menurut Teori ini, adat istiadat dan hukum adat atau golongan hukum masyarakat adalah reseptio seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat. Teori ini ditentang oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollen Hoven dengan alasan tidak semua bagian hukum agama di terima dalam hukum adat, melainkan bagian tertentu yang menyangkut kepercayaan dan hidup batin seseorang.
BAB II
HUKUM PERSEORANGAN DAN HUKUM
KEKELUARGAAN
A. Keturunan
Di Indonesia dikenal 3 macam sistem keturunan:
1. Sistem keturunan dalam masyarakat keibuan (Matrilineal) yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang anggotanya menarik garis keturunan melalui garis keturunan ibu seperti Minangkabau.
2. Sistem keturunan masyarakat dengan garis keturunan bapak (Patrilinieal)
Yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan melalui bapak seperti : Batak.
3. Sistem keturunan dalam masyarakat ke ibu bapakan (bilateral) yaitu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan dari ibu dan Bapak.
Dalam hukum adat ada 2 sistem masyarakat bilateral yaitu :
1. Masyarakat bilateral di Jawa yaitu bilateral yang terhimpun dalam kesatuan kecil yaitu keluarga, family, gozin.
2. Masyarakat bilateral di Kalimantan, yaitu sistem bilateral yang terhimpun dalam unit besar terdiri dari 12 sampai 20 keluarga di dalam suatu rumah besar, disebut tribo, rumpun atau kelompok.
3.
B. Hubungan Anak dengan Orang Tua dan Kerabat
Bahwa hubungan antara anak, orang tua dan kerabat itu sangat erat. Di mana antara hak dan kewajiban mereka bertiga adalah seimbang, semisal tentang kewajiban terhadap nak, jika orang tua tidak mampu melaksanakan kewajiban terhadap anak, maka kerabat lain ikut andil dalam pertanggungjawaban terhadap anak tersebut.
C. Memelihara dan Mengangkat Anak dari Keluarga atau dari Orang Lain
Pada dasarnya kewajiban memelihara anak merupakan kewajiban kedua orang tuanya. Namun apabila kedua orang tuanya tidak mampu, maka kerabatlah yang berkewajiban memeliharanya.
Adapun dalam pemungutan anak, atau dengan istilah “Adoptic” menurut hukum Islam itu tidak diperbolehkan. Dalam hukum adat adaptio adalah perjanjian pelihara. Dalam perjanjian ini pemelihara menanggung nafkah yang terpelihara lebih-lebih selama masa tuanya.
D. Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak
Dari akibat hukum pengangkatan anak itu mengakibatkan kedudukan anak angkat menjadi sama dengan kedudukan anak kandung. Ia akan menjadi penerus dan pewaris orang tua kandungnya dan orang tua angkatnya.
Adapun untuk anak pupon itu bukan sebagai waris karena pada dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah hubungan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya kecuali apabila kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat
Tujuan penitipan dan pengangkatan ini tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka.
BAB III
HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA
PERKAWINAN
A. Arti dan Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat
Menurut Ter Haar, perkawinan merupakan kepentingan urusan kerabat, keluarga masyarakat, derajat dan urusan pribadi di antara satu dengan yang lain di dalam hubungan yang beraneka ragam.
Dalam lingkungan masyarakat kerabat, perkawinan merupakan syarat untuk meneruskan silsilah, sehingga perkawinan adalah urusan keluarga. Oleh sebab itu tujuan dari perkawinan adalah untuk melestarikan golongan dengan tertib.
B. Sistem Perkawinan Adat
1. Sistem perkawinan Endogami yaitu pria mencari istri dalam lingkungan kerabat, famili sendiri dan dilarang mencari istri dari lingkungan kerabat, seperti di daerh Toraja.
2. Sistem perkawinan Exogami, yaitu pria mencari calon istri yang di luar marga dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga seperti di Minangkabau
3. Sistem Perkawinan Elouterogami yaitu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan yang berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi oleh hukum Islam.
C. Pengaruh Agama Islam dalam Perkawinan Adat
Pengaruh yang paling jelas dapat dilihat dari perkawinan bermadu yang terdapat hampir di semua lingkungan masyarakat ada di mana seorang suami mempunyai beberapa istri. Di dalam Islam, perkawinan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ayat Al Qur’an Surat An Nisa ayat 3.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, maka jiwa ketentuan dari Al Qur’an disalurkan ke dalam pasal-pasal yang menyatakan:
1. Pada asanya seseorang pria / wanita hanya boleh mempunyai seorang istri atau suami
2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
D. Perceraian dan Akibat-Akibatnya
1. Perceraian
Perceraian dalam hukum adat maupun hukum agama adalah perbuatan tercela, perceraian menurut Islam merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah. Dalam masyarakat Batak dan Lampung, perceraian berarti putusnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang bersangkutan. Adapun tata cara perceraian ini disebutkan dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 39.
2. Akibat-Akibat Perceraian
Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan serta kedudukan harta perkawinan:
Di lingkungan masyarakat patrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak tersebut tetap berada dalam kekerabatan suami sekaligus sebagai pewarisnya. Dalam masyarakat matrilineal, apabila terjadi perceraian maka anak ikut dalam kekerabatan istri sekaligus sebagai pewarisnya. Sedangkan kedudukan anak-anaknya tergantung keadaan. Apabila anak tersebut berhak berada dalam tanggung jawabnya bapak berarti anak tersebut ikut bapak dan berhak menjadi pewarisnya begitu juga sebaliknya.
E. Fungsi Harta Perkawinan
Adapun fungsi harta perkawinan adalah untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari bagi suami istri anak-anaknya dan kerabat yang hidup dalam lingkungan rumah tangga tersebut.
F. Pemisahan Harta Perkawinan
Harta warisan ada 4 macam yaitu:
1. Harta bawaan
Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan
2. Harta Penghasilan
Yaitu harta yang diperoleh suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan
3. Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan
4. Harta hadiah perkawinan
Yaitu hart yang diperoleh suami dan istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah
G. Status Hukum Harta yang Diperoleh antara Suami Istri dalam Perkawinan
Kedudukan harta yang diperoleh oleh suami atau istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh istri maka harta itu milik istri, sebaliknya jika hartanya itu dari suami, maka harta itu milik suami. Andaikata harta tersebut diperoleh dari suami dan istri secara bersama maka harta tersebut milik bersama. Namun jika diperoleh dari harta bawaan perkawinan, maka harta itu digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-harinya dalam rumah tangganya.
BAB IV
PENGERTIAN WARIS DAN SIFATNYA
A. Pengertian Waris
1. Pengertian
Sementara itu Soepomo mengartikan hukum adat waris sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immaterial Goenderen) dari satu angkatan kepada keturunannya.
Adapun pengertian waris menurut hukum adat adalah sama dengan pendapat yang dikatakan Soepomo.
Sedangkan menurut Mr. Wirjono Prodiodihoro pengertian warisan adalah tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan, seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.
Sesungguhnya mengartikan waris setelah peristiwa wafat memang benar, jika dilihat dari hukum Islam dan KUH Perdata. Akan tetapi jika dilihat dari hukum adat, maka sebelum pewaris wafat sudah bisa dilakukan pengalihan harta.
2. Sifat Hukum Waris
Hukum waris adat ini mempunyai corak dan sifat. Sifat tersendiri yang khas Indonesia jika dibandingkan dengan KUH Perdata. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan.
B. Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-Bagi
Kemungkinan tidak terbaginya harta peninggalan itu adalah dikarenakan kepentingan, dan kegunaannya sebagai pemersatu kekerabatan, di antara alasannya sebagai berikut :
1. Tidak dapat dibagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan atribut dari kesatuan hidup kekerabatan adat di bawah pimpinan kepala adat.
2. Telah dibagi-bagikan pemilihan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya, sebagai milik bersama dari suatu kerabat kecil yang berfungsi dan berperan sebagai tali pengikat kekuatan keluarga di bawah pimpinan kepala kerabat bersangkutan
3. Tidak terbagi-baginya pemilihan harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah adalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota menjadikannya sebagai tempt kediaman.
C. Penghibahan (Pewarisan) dan Hibah Wasiat
Perebutan penghibahan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah kepada seorang anak yang berhak atas warisan orang tua terikat pada aturan bahwa semua anak harus mendapatkan bagian yang patutu dari peninggalan.
Pewarisan dan hibah wasiat mempunyai dua corak:
1. Mereka-mereka yang menerima harta, itu adalah ahli waris yaitu istri dan anak-anak
2. Orang yang mewariskan itu meskipun terikat oleh peraturan bahwa semua anak harus mendapat bagian yang layak, hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris seorang anak, akan tetapi dalam menentukan barang mana yang untuk istri dan anak adalah bebas.
D. Harta Keluarga Marga yang Merupakan Harta Peninggalan
Di dalam sebuah keluarga, jika suaminya telah meninggal dunia dan anak-anak telah mandiri seorang istri mempunyai kedudukan istimewa, sebab istri sebagai janda menguasai rumah yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya dan berhak menetap di rumah itu sekaligus berhak untuk memegang harta benda yang ditinggalkan, jika ia memerlukannya dan selama memerlukannya untuk kehidupannya.
Di Jawa, kedudukan duda (janda lelaki) terhadap harta peninggalan, pada dasarnya sama dengan kedudukan janda perempuan, ini memang sesuai dengan sistem keluarga di Jawa yang berdasar turunan dari kedua belah pihak orang tua (Ouderrechtteurk)
E. Pembagian Harta Peninggalan
Jika si peninggal warisan sewaktu hidupnya tidak memberikan semua harta bendanya dengan jalan menghibahkan dan setelah dikurangi hutang-hutangnya masih terdapat sisa, maka harta peninggalan itu dapat dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Suatu saat harta tersebut di bagi-bagi maka pembagiannya tidak menurut aturan-aturan yang ada.
Jika salah seorang atau beberapa orang waris menghendaki membagi harta peninggalan, sedangkan waris lainnya tidak menyetujui, maka perkara tersebut diajukan kepada hakim atau hakim jabatan untuk memperoleh penyelesaiannya.
F. Para Ahli Waris
1. Anak Kandung yang terbagi menjadi anak sah, anak tidak syah, waris anak lelaki, waris anak perempuan, waris anak lki-laki dan perempuan, waris anak sulung, waris anak sulung pria, waris anak wanita, waris anak pangkalan dan anak bungsu.
2. Anak tiri dan anak angkat, yakni : anak tiri, anak angkat, anak angkat mewaris.
3. Waris Balu Janda atau Duda, yakni Balu dalam sistem Patrilineal, Balu dalam sistem matrilineal, Balu dalam sistem parental.
4. Para waris lainnya.
BAB V
HUKUM TANAH
A. Hak Persekutuan Atas Tanah
Persekutuan atas pemilikan tanah itu, terdiri dari latar belakang dan hak ke dalam, hak keluar maksudnya, kewenangan bersama untuk memungut hasil dari tanah yang tidak dimiliki untuk orang lain. Adapun hak di dalam maksudnya, masyarakat berhak mengatur pemungutan hasil oleh anggota-anggotanya berdasarkan atas hak dari masyarakat dan masing-masing anggota mendapat bagiannya yang sah, dengan jalan membatasi hak-hak, perseorangan guna kepentingan masyarakat.
Dalam hak persekutuan terdapat hak-hak orang seorang secara timbal balik dan terus menerus. Masing-masing dari merek berhak mempertahankan hak orang seorang terhadap hak persekutuan itu.
B. Hak Perseorangan Atas Tanah
Hak perseorangan atas tanah di batasi oleh kelonggaran yang ditentukan oleh “Beschikking Screht” berupa hak milik (Het Inlads besitssrecht). Seorang anggota masyarakat yang berhak memiliki pekarangan/ ladang ia berhak menikmati (Genot recht)
Perjanjian tanah yaitu: pemilikan tanah, jual lepas, jual gadai, jual tahunan, pemberian tanah, pembuktian tanah.
C. Transaksi Tanah dan Transaksi yang Ada Hubungannya dengan Tanah
Yaitu perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa, perjanjian berganda, perjanjian pinjaman dengan jaminan tanah, perjanjian semu (Simulasi).
D. Status Tanah Adat dalam UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960)
Di dalam pasal 3 UUPA tentang pelaksanaan hak dikatakan bahwa pelaksanaan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara.
Selanjutnya di dalam pasal 5 UUPA dikatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruangannya ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa atau kondisi sosial Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berstandar pada hukum agama.
Read User's Comments (0)







