You are here: Home > > BIOGRAFI IMAM MALIK

BIOGRAFI IMAM MALIK

IMÂM MÂLIK

A. Biografi Imâm Mâlik
Imâm Mâlik adalah Imâm yang kedua dari Imâm-Imâm empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Imâm Mâlik dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M), dan wafat pada hari Ahad, 10 Rabî’ul Awal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harûn al-Rashîd. Nama lengkapnya adalah Abû Abdillah Mâlik ibn Anâs ibn Mâlik ibn Abû ‘Amîr ibn al-Harîth.
Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, diantara para tabi’in, para cerdik pandai, dan para ahli hukum agama.
Guru beliau yang pertama adalah Abd al-Rahmân ibn Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqh kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabî’ah al-Ra’yi (wafat tahun 136 H). Selanjutnya Imâm Mâlik belajar ilmu hâdîth kepada Imâm Nâfi’ Maula Ibnu ‘Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imâm ibn Shihâb al-Zuhrî.
Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru Imâm Mâlik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Diantara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong ulama tabi’in.
Beliau dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan, dan teliti. Dari kecil beliau membaca al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang sunnah dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan fuqaha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semuanya itu.
Dalam riwayat hidup Imâm Mâlik ada suatu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu penghormatan beliau terhadap hâdîth Nabi, yaitu ketika beliau hendak menyampaikan hâdîth Nabi atau mengajarkannya disertai dengan cara yang istimewa dengan tujuan untuk menghormati hâdîth Nabi tersebut.

B. Pola Pemikiran, dan Metode Istidlâl Imâm Mâlik dalam Menetapkan Hukum Islam
Imâm Mâlik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imâm Abû Hanîfah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imâm Mâlik tumbuh sebagai seorang ulama terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hâdîth dan fiqh. Sebagai bukti atas hal ini, adalah ucapan al-Dahlawy, “Mâlik adalah orang paling ahli dalam bidang hâdîth di Madinah yang paling mengetahui keputusan ‘Umar, yang paling mengetahui pendapat-pendapat Abdullah ibn ‘Umar, ‘Aisyah Ra. dan sahabat-sahabat lainnya, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa.
Sebagai seorang ahli hâdîth, kepandaian beliau tentang ilmu hâdîth dapat kita ketahui melalui pengakuan para ahli ilmu hâdîth, diantaranya:
1. Imâm Muhammad bin Idrîs al-Shâfi’î berkata, “Apabila datang hâdîth kepadamu dari Imâm Mâlik, maka pegang teguhlah olehmu dengan kedua tanganmu, karena ia menjadi alasan bagimu.
2. Imâm Yahyâ bin Mu’în pernah berkata, “Imâm Mâlik adalah seorang raja bagi orang-orang yang beriman tentang ilmu hâdîth, yakni seorang yang tertinggi tentang ilmu hâdîth.
Sedangkan kepandaian Imâm Mâlik tentang ilmu agama dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya seperti pernyataan Imâm Hanâfî yang menyatakan bahwa, “Beliau tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih alim daripada Imâm Mâlik. Bahkan Imâm al-Laith bin Sa’ad pernah berkata, bahwa pengetahuan Imâm Mâlikî adalah pengetahuan orang yang taqwa kepada Allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil pengetahuan.
Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati sebagaimana diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “Saya tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hâdîth, sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakui.
Adapun metode istidlâl Imâm Mâlik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang kepada:
1. Al-Qur’an
Dalam memegang al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhûm al-mukhâlafah dan mafhûm al-aulâ dengan memperhatikan ‘illatnya.
2. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imâm Mâlik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an.
3. Ijmâ’ Ahl al-Madînah
Ijmâ’ ahl al-Madînah ini ada dua macam, yaitu ijmâ’ ahl al-Madînah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihâd ahl al-Madînah, seperti ukuran mud, sâ’, dan lain-lain. Ijmâ’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imâm Mâlik.
Menurut Ibnu Taymiyah, yang dimaksud dengan ijmâ’ ahl al-Madînah tersebut adalah ijmâ’ ahl al-Madînah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madînah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijmâ’ ahl al-Madînah yang asalnya dari al-Naql sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Ijmâ’ ahl al-madînah ini ada beberapa tingkatan, yaitu:
a. Kesepakatan ahl al-Madînah yang asalnya al-Naql.
b. Amalan ahl al-Madînah sebelum terbunuhnya Uthmân bin ‘Affân. Ijmâ’ yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi madhhab Mâlikî.
c. Amalan ahl al-Madînah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, apabila ada dua dalil yang yang saling bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan amalah ahl al-Madînah, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl al-Madînah itulah yang dijadikan hujjah menurut madhhab Mâlikî. Begitu pula bagi madhhab Shâfi’î.
d. Amalan ahl al-Madînah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl al-Madînah seperti ini bukan hujjah, baik menurut al-Shâfi’î, Ahmad ibn Hanbal, Abu Hanîfah, maupun menurut para ulama di kalangan madhhab Mâlikî.
4. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan fatwa sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql.
5. Khabar Ahad dan Qiyâs
Imâm Mâlik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbât, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil yang qat’î.
6. Al-Istihsân
Menurut madhhab Mâlikî, al-istihsân adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kullî (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlâl al-mursal daripada qiyâs, sebab mengunakan istihsân itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat sharâ’ secara keseluruhan.
7. Al-Maslahah al-Mursalah
Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nas, dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan sharî’at diturunkan. Tujuan syari’at dirurunkan dapat diketahui melalui al-Qur’an atau sunnah atau ijmâ’.
8. Sadd al-Zarâ’i
Menurut Imâm Mâlik, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada halal, halal pula hukumnya.
9. Ishishâb
Ishishâb adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
10. Shar’u man qablanâ shar’un lanâ
Menurut Qâdhî Abd Wahâb al-Mâlikî, bahwa Imâm Mâlik menggunakan kaidah ini sebagai hukum, tetapi menurut Sayyid Muhammad Mûsâ, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imâm Mâlik yang mengatakan demikian.

C. Karya-Karya Imâm Mâlik dan Penyebaran Madhhabnya
Diantara karya-karya Imâm Mâlik adalah kitab al-Muwatta’. Kita tersebut ditulis tahun 144 H atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshûr. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abû Bakar al-Abhâry, atsar Rasulullah SAW sahabat tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwatta’ sejumlah 1.720 buah.
Pendapat Imâm Mâlik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al-Muwatta’ dan al-Mudâwanah al-Kubrâ.
Madhhab Imâm Mâlik pada mulanya timbul dan berkembang di kota Madinah, tempat kelahiran beliau, kemudian tersiar ke negeri Hijaz.
Perkembangan Madhhab Mâlikî sempat surut di Mesir, karena pada masa itu berkembang pula madhhab Shâfi’î dan sebagian penduduknya telah mengikuti madhhab Shâfi’î, tetapi pada zaman pemerintahan Ayyubiyah, madhhab Mâlikî kembali hidup.
Sebagaimana di Mesir, demikian juga di Andalusia, di masa pemerintahan Hishâmm Ibn Abd Rahmânî, para ulama yang mendapat kedudukan tinggi menjabat sebagai hakim negara, adalah mereka yang mengatur madhhab Mâlikî, sehingga madhhab ini bertambah subur dan berkembang pesat di sana. Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan Imâm Ibnu Hâshim, “Dua aliran madhhab yang kedua-duanya tersiar dan berkembang pada permulaaannya adalah kedudukan dan kekuasaan, yaitu madhhab Hanâfî di Timur dan madhhab Mâlikî di Andalusia.
Diantara para sahabat Imâm Mâlik yang berjasa mengembangkan madhhabnya antara lain: ‘Uthmân ibn al-Hakam al-Juzâmi, Abd Rahmân ibn Khâlid ibn Yazîd ibn Yahyâ, Abd Rahmân ibn al-Qâsim, Asyab ibn Abd ‘Azîz, Ibn Abd al-Hakam, Harîth ibn Miskîn, dan orang-orang yang semasa dengan mereka.
Oleh karena jasa mereka itu, madhhab Mâlikî dapat tersebar dan berkembang serta dikenal kaum muslimin hampir di seluruh negeri. Madhhab Mâlikî sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, Lybia, dan Mesir. Masih tersiar juga di Irak, Palestina, Hijaz, dan lain-lainnya di sekitar jazirah Arabia, tetapi tidak begitu banyak orang mengikutinya.

D. Analisis
Imâm Mâlik adalah salah satu Imâm madhhab yang beraliran ahl al-hâdîth. Imâm Mâlik dalam sejarah hidupnya hanya menetap di kota Madinah, kecuali ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau sangat dipengaruhi oleh amalan penduduk Madinah. Begitu besar pengaruhnya samai-sampai khabar ahad dapat diterima oleh beliau jika tidak bertentangan dengan ahlu Madinah, atau dikuatkan oleh dalil lain yang qat’î.
Walaupun demikian, yaitu dalam satu sisi ia sangat terpengaruh oleh amalan penduduk Madinah, tetapi dalam sisi yang lain ia juga menggunakan maslahah mursalah dan istihsân sebagai sumber hukum. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh adanya beberapa perubahan kota Madinah pada zaman Rasulullah SAW, sehingga menurut pandangan Imâm Mâlik, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengatasainya, kecuali dengan jalan lain yaitu menggunakan maslahah mursalah dan istihsan sebagai sumber hukum.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Responses to “BIOGRAFI IMAM MALIK”:

Leave a comment